Mgr. Adrianus Sunarko: Optimisme dan Harapan di Tengah Bencana dan Pandemi Covid-19

oleh -
Mgr. Prof. Dr. Adrianus Sunarko, OFM dalam acara FoKus—Forum Diskusi -- ISKA Channel, yang digelar secara daring oleh Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (DPP Pusat ISKA), pada Jumat (5/2). Uskup Pangkal Pinang itu membawa diskusi tentang “Harapan dan Optimisme dengan Berbasis Spiritualitas Kristiani” dengan moderator wartawan senior sekaligus Pengurus DPP ISKA, Hermien Y. Kleden. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Semua hal buruk, baik itu perang, bencana, pengkianatan, kekerasan dalam rumah tangga, wabah/pandemi Covid-19 bukan berasal dari Allah. Bencana tersebut juga bukan merupakan hukuman dari Allah. Hal itu muncul karena keterbatasan dunia ciptaan dan kesalahan manusia.

Demikian diungkapkan oleh Mgr. Prof. Dr.  Adrianus Sunarko, OFM dalam acara FoKus—Forum Diskusi —  ISKA Channel, yang digelar secara daring oleh Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (DPP Pusat ISKA), pada Jumat (5/2). Uskup Pangkal Pinang itu membawa diskusi tentang “Harapan dan Optimisme dengan Berbasis Spiritualitas Kristiani” dengan moderator wartawan senior sekaligus Pengurus DPP ISKA, Hermien Y. Kleden.

“Satu-satunya rencana Allah yaitu keselamatan manusia dan seluruh ciptaannya. Karena itu, semua bencana atau wabah yang terjadi di bumi ini bukan berasal dari Tuhan. Mengapa bencana itu muncul? Jawaban yang paling mungkin karena Tuhan menghormati kebebasan manusia dan mengajak manusia terlibat dengan akal budi, kehendak dan tindakannya untuk mewujudkan keselamatan,” ujar Uskup yang memiliki motto episkopal “Laetentur insulae multae – biarlah pula-pulau bersukacita”.

Uskup Pangkal Pinang ini mengatakan, yang pasti dan tidak boleh dikatakan bahwa Allah sendiri adalah penyebab kejahatan dan bencana di dunia ini. “Mungkin yang paling jauh dapat dikatakan adalah bahwa Ia ‘membiarkannya (kejahatan dan bencana) terjadi karena Ia menghormati kebebasan makhluk-Nya dan dengan cara yag penuh rahasia Ia tahu menghasilkan yang baik darinya,” ujar Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.

Refleksi seperti ini pun, kata Uskup yang menggembalai umat di Pangkal Pinang sejak 2017, sudah ditemukan dalam Kitab Suci misalnya kisah tentang Yusuf di Tanah Mesir. Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya. Namun Yusuf kemudian berkata kepada saudara-saudaranya itu bahwa “Bukan kamulah yang menyuruh aku ke sini, melainkan Allah. Kalau kamu melakukan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah merelakan untuk kebaikan dengan maksud memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej. 45:8; 50:20).

Demikian pun kepada Jemaat di Roma, Rasul Paulus mengatakan, “Kita tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi dia” (Rom. 8:28).

Namun, Uskup mengatakan, bahwa itu tidak berarti manusia boleh membiarkan kejahatan atau bencana terjadi. Karena hal yang buruk tetaplah buruk dalam dirinya sendiri. “Tetapi hal tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa yang buruk /jahat adalah tetap buruk/jahat dan tidak boleh dikehendaki dalam dirinya sendiri,” ujarnya.

 

Manusia: Merindukan Keselamatan dan Kebahagiaan

Keselamatan, kata Uskup 54 tahun ini, adalah relasi menyeluruh dengan Allah, sesama manusia, sesama ciptaan dan dengan diri sendiri. Dia meliputi keselamatan materi (kesehatan), jiwa maupun rohani. Keselamatan tercipta jika relasi dalam segala aspeknya itu baik, bukan hanya meliputi satu aspek saja.

Diakui, keselamatan itu sudah mulai di dunia ini, namun belum sempurna. Segala sesuatu yang bertentangan dengan rencana keselamatan itu bukan berasal dari Allah. Misalnya, bencana maupun pandemi Covid-19 dipastikan bukan berasal dari Allah, karena itu bertentangan dengan rencana keselamatan Allah yang maha kasih.

Segala sesuatu diupayakan Allah demi terwujudnya rencana keselamatan. Satu saja yang Allah tidak lakukan yaitu memaksakan kehendaknya karena Allah adalah kasih. Dia menghormati kebebasan manusia. “Karena itu Allah mengharapkan tanggapan positif dari manusia,” ujarnya.

Manusia memiliki cita-cita dan berusaha merealisasikan dirinya yang sehat jasmani, jiwa dan rohani. Manusia juga memiliki cita-cita keselamatan. Namun dalam menanggapi cita-cita keselamatan Allah tersebut belum sempurna. Aktualisasi dirinya juga baru sebagian dan tidak mencapai sepenuhnya. Ada batas yang tak terhindarkan yaitu sebuah kematian.

Karena itu dalam kondisi yang demikian, dibutuhkan tiga sikap dasar dari dalam diri manusia yaitu iman, kasih dan harapan. Iman yaitu menyadari kehadiran Allah yang baik dan berkuasa; Kasih pada sesama dan alam ciptaan. Hal itu karena kita adalah makhluk sosial (tidak bahagia sendiri); Dan harapan yaitu berharap dengan keterbatasan dunia yang tak terelakkan (kematian) sambil mengharapkan kehidupan yang kekal.

Ketiganya, kata Uskup, iman, kasih dan harap saling terkait erat. “Kita punya dasar berharap karena kita memiliki iman dan kasih,” ujarnya.

Mgr. Prof. Dr. Adrianus Sunarko, OFM bersama para penanggap diskusi yaitu Pastor Antonius Widyarsono, SJ dan Pengurus Pusat ISKA, Prasetyo Nurhardjanto dalam acara FoKus—Forum Diskusi — ISKA Channel, Jumat (5/2).

Harapan di Tengah Penderitaan

Dalam situasi ekstrem penderitatan seperti saat ini maka manusia diharapkan memiliki sumber kekuatan yaitu harapan.

Alumnus Universitas  Albert-Ludwig, Freiburg im Breisgau, Jerman ini mengatakan harapan berbeda dengan optimisme. Optimisme yaitu selalu memiliki pemikiran positif, misalnya optimis terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan harapan itu sebuah sikap yang ditopang oleh iman, dan kasih bahwa selalu ada makna positif di balik semua peristiwa jelek sekalipun.

“Harapan berbeda dari optimisme. Harapan bukan sikap pasif belaka, harapan harus ditopag oleh iman dan kasih. Tanpa iman, harapan kurang kuat, khusunya berhadapan dengan berbagai keterbatasan manusiawi yang tak terelakkan. Tanpa kasih harapan tidak subur. Kasih biasa menghadapi yang sulit, kasih sejati selalu berarti pengurbanan, pengalaman kasih yang meneguhkan dan solidaritas,” ujarnya.

Dalam situasi pandemi ini, manusia harus maksimal mencari pemecahan secara medis, maupun ilmu pengetahuan. Kendati demikian, pasti manusia mengalami keterbatasan, dan kegagalan. Ada banyak korban berjatuhan maupun banyak pekerjaan maupun rencana yang tertunda.

Karena itu, menghadapi pandemi seperti ini, manusia dituntut untuk memiliki sikap realistis-harapan. Kita harus semaksimal mungkin berusaha mengatasi pandemi dengan menghindari atau menyebuhkannya.

“Selanjutnya dibutuhkan solidaritas saling membantu dan meneguhkan. Menerima kenyataan bahwa ada korban. Namun kita harus tidak kehilangan harapan. Dibutuhkan iman, kasih dan harapan. Ketiganya membantu kita bersikap dengan tepat, realistis tanpa kehilangan harapan. Iman yaitu relasi dengan Tuhan dan menyadari kehadiran Tuhan. Kasih yaitu solidaritas satu sama lain dan harapan agar kita tidak putus asa,” pungkasnya.

 

Laboratorium Optimisme dan Harapan

Sementara itu, Pastor pendamping ISKA, Antonius Widyarsono, SJ yang tampil sebagai penanggap diskusi mengatakan, pada awalnya pandemi virus Corona dianggap sebagai sesuatu yang jauh dengan dirinya. Namun kejadian yang berlangsung akhir-akhir ini menunjukkan bahwa betapa pandemi Corona itu sangat dekat dengan kehidupan kita.

“Saya merasakan ada teman seangkatan saya, Romo Maryoto yang meninggal karena Covid. Dan kemudian juga ada Romo Herry Priyono. Karena itu, kita sebagai manusia tersentak dan terpukul. Sebagai spesies, kita merasa dikalahkan oleh virus Corona ini, ” ujarnya.

Namun, sebagai seorang yang memiliki spiritualitas kita bisa memandang secara lain pandemi tersebut. Di satu sisi memang ada banyak korban pandemi, namun di sisi lain muncul juga solidaritas.

“Saya melihat ada kebebasan yang diberikan kepada kita. Manusia dengan kebebasannya itu ternyata tidak tinggal diam. Para perawat, dokter dan mereka yang menjadi korban ternyata tidak menyurutkan langkah untuk berusaha mengatasi pandemi ini. Jadi dengan kebebasan yang Tuhan berikan itu kita berusaha untuk mengatasi pandemi ini. Dan disinilah harapan itu muncul. Dan di situlah Allah bekerja yang memunculkan harapan dan solidaritas,” ujarnya.

Penanggap lainnya, juga dari Pengurus Pusat ISKA, Prasetyo Nurhardjanto mengatakan, pandemi telah menerbitkan semangat dan inspirasi untuk berbagi dan solidaritas di kalangan warga. Solidaritas inilah yang memunculkan harapan bahwa kita mampu mengalahkan pandemi Corona tersebut.

Ketua Bidang Pelatihan Relawan di dalam Gugus Tugas ini mengatakan pandemi yang sudah berlangsung selama 10 bulan merupakan laboratorium optimisme dan harapan bagi bangsa ini untuk bangkit bersama-sama.

“Pandemi ini merupakan laboratorium bagi optimisme dan harapan kita. Kita diuji dalam laboratorium itu apakah kita masih memiliki optimisme atau tidak. Saya berharap kita bisa melewati pandemi ini dengan baik karena tidak ada rencana Tuhan selain keselamatan umatnya,” ujar Pras, panggilannya. (Ryman)