Pendekatan Kultural Solusi Sulitnya Izin Pembangunan Rumah Ibadah

oleh -
Pendirian rumah ibadat. (Foto: Tribunnews.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Polemik pembangunan rumah ibadah merupakan masalah klasik bagi kaum minoritas di kantong-kantong mayoritas. Seringkali masalah ini diperburuk dengan penggunaan dikotomi mayoritas dan minoritas, sebagai ajang menaikkan popularitas kalangan tertentu yang haus akan kekuasaan.

Namun dampak yang diperoleh lebih jauh dari adanya dikotomi mayoritas dan minoritas itu adalah munculnya kerugian yang dialami kelompok yang berjumlah lebih sedikit (kaum minoritas), khususnya terkait dengan keleluasaan beribadah dan izin membangun rumah ibadah.

Hal itu diungkapkan dalam acara bedah buku “Hancur Bangun Rumah Ibadah” yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia. Bedah buku yang dibesut oleh Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia bersama Yayasan Komunikasi Indonesia ini berusaha membahas lebih dalam mengenai fenomena sulitnya mengurus izin rumah Ibadah bagi minoritas, khususnya kaum Nasrani.

Diskusi tersebut dihadiri oleh sekitar 100 orang dan mengambil tempat di Aula Kantor Yayasan Komunikasi Indonesia di Jalan Matraman Raya. Hadir para pembicara antara lain Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo, Staf Ahli Menteri Dalam  Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik, Dr. Tumpak Haposan Simanjuntak,  M.A, Direktur Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian PGI Pdt. Hendrik Lokra, serta  Ketua Umum PGLII, Pdt. Dr. Ronny Mandang, M.Th.

Dalam pemaparannya, Benny menyatakan bahwa kesulitan membangun rumah ibadah bukan hanya dialami oleh umat Kristiani saja, namun juga oleh setiap minoritas di wilayah kaum mayoritas.

“Akar permasalahan dari fenomena ini seringkali terjadi karena kecurigaan yang terus terbangun menjadi penolakan hingga pengrusakan rumah rumah ibadah milik kaum minoritas,” ujarnya.

Menurut Benny hal ini tidak perlu terjadi jika terbangun komunikasi yang intens antara masing-masing kelompok. Kelompok minoritas yang mendapat kesulitan hendaknya mulai menghilangkan mental korban yang selalu meratap dan merasa dirugikan.

“Kita perlu bergerak nyata melakukan pendekatan kultural dengan menjalin  komunikasi baik bersama pihak yang berbeda dari kita. Jangan datang dengan pendekatan invasif dengan membawa bahan bangunan dan tenaga sendiri untuk membangun rumah ibadah. Tapi mulailah melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan hingga ada rasa keterikatan yang terbangun dan berujung pada keharmonisan,” ujarnya.

Nilai-nilai lokal seperti pela gandong di Maluku, dimana umat Kristen ikut terjun bergotong royong dalam pembangunan masjid, dan sebaliknya umat Islam ikut bahu-membahu membangun gereja merupakan bukti nyata dimana keberagaman dan perbedaan bukan hal yang patut ditakuti, namun merupakan modal dasar untuk saling bekerja sama demi persatuan bangsa dan negara.

Selain itu perlu ada gerak nyata dalam upaya pembatinan Pancasila dari  pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan publik yang adil, efektif, tidak diskriminatif serta mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas segala hal, termasuk kepentingan politis sesaat dalam meraih kekuasaan. Pejabat  khususnya kepala daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dapat memberikan jaminan kebebasan beragama sesuai dengan undang undang.

Staf Ahli Menteri Dalam  Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik Dr. Tumpak Haposan Simanjuntak menyatakan bahwa dalam mengurus izin dan membangun rumah ibadah, pihak yang akan membangun perlu mempertimbangkan kepentingan masyarakat sekitar.

Gereja, katanya, seringkali abai terkait kepentingan sekitar dan berujung ketidakpedulian yang sama dari masyarakat. Suka atau tidak, masyarakat Indonesia masih sangat terjebak dengan isu dan politik identitas. Maka saling curiga, ketidakpedulian dan penajaman perbedaan ini merupakan resep bagus untuk menarik simpati rakyat, khususnya dalam meraih popularitas dalam kontestasi seperti Pilkada dan Pemilu.

“Maka yang perlu dilakukan adalah usaha saling mendekati, saling coba mengerti bahwa sebagai sesama manusia semua berhak untuk beribadah bebas dari rasa ketakutan, kebersamaan yang terbentuk pada akhirnya tidak hanya menimbulkan rasa saling menghormati namun juga saling membutuhkan yang lebih lanjut dapat berdampak baik bagi persatuan dan kesatuan bangsa,” katanya.

Koordinator tim penulisan buku, Ir. F. Robert O Sitorus menyatakan bahwa umat Kristiani harus senantiasa memperhatikan fenomena dengan memperhatikan konteks, bukan terjebak menjadi mereka yang selalu menjadi korban.

“Gereja dan umat Kristiani harus keluar dari kungkungan tembok dan gedung tebal dengan menjadi ramah dan perduli pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Kita semua harus dapat menjadi kepingan hilang yang dibutuhkan masyarakat hingga seperti Kristus kita bisa menjadi jawaban bagi masyarakat,” ujarnya.

“Untuk selanjutnya bersama seluruh masyarakat Indonesia dapat membangun peradaban cinta kasih yang menyatukan bangsa  dan mengaktualisasikan nilai nilai Pancasila dengan nyata,” pungkasnya. ***