Perlu Jedah Waktu yang Lama Sebelum TNI-Polri Aktif Maju ke Pilkada

oleh -
Bakal calon yang terjun ke Pilkada dari latar belakang TNI dan Polri. (Foto: Ilustrasi)

JAKARTA – Dinamika Pilkada serentak pada 2018 diwarnai dengan majunya para kandidat yang memiliki latar belakang anggota TNI dan Polri. Majunya para kandidat tersebut bukanlah hal baru, karena dalam Pilkada yang lalu juga terdapat para kandidat yang berasal dari TNI dan Polri.

Namun demikian, pada pilkada kali ini, sebagian kandidat dari kalangan TNI dan Polri telah memperlihatkan langkah politiknya sebelum mengundurkan diri. Hal inilah yang menimbulkan masalah bagi kehidupan demokrasi.

Demikian pernyataan pers bersama yang disampaikan Yati Andriyani dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Al Araf dari The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL), dan Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), di Jakarta, Selasa (9/1/2018).

Koalisi tersebut menyatakan, dalam negara demokrasi, anggota TNI dan Polri tidak boleh berpolitik. “Tugas TNI dan Polri di dalam negara demokrasi adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara dan tidak difungsikan untuk berpolitik,” demikian isi pernyataan pers.

Penegasan tentang larangan anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik diatur secara jelas dalam UU No  34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 39 Ayat 2 UU TNI menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis”. Sedangkan dalam UU Polri Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa, “Kepolisian negara republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis”.

Penegasan tentang larangan untuk berpolitik di dalam UU Polri dan UU TNI sesungguhnya mensyaratkan kepada para anggota TNI dan anggota Polri untuk tidak melakukan langkah-langkah politik dalam ruang publik sebelum mereka mengundurkan diri.

Dengan kata lain, sepanjang mereka masih aktif menjadi anggota TNI dan Polri maka seharusnya mereka tidak boleh melakukan kampanye politik, deklarasi politik, pemasangan atribut politik seperti baliho dan langkah-langkah politik lainnya.

“Dari dinamika yang terjadi belakangan ini, kami melihat bahwa terdapat sebagian kandidat yang berasal dari TNI dan Polri yang masih aktif namun sudah terlebih dahulu melakukan manuver politik dalam ruang publik sebelum mereka mengundurkan diri. Hal ini tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU TNI dan UU Polri,” ujar Titi Anggraini.

Titi mengatakan, dalam negara demokrasi, sudah semestinya partai politik tidak memberikan ruang bagi anggota TNI dan Polri yang masih aktif untuk melakukan langkah-langkah politik dalam Pilkada. Karena itu, partai politik semestinya meminta dan mendesak kepada para kandidat tersebut untuk mengundurkan diri.

“Pembiaran atas langkah-langkah anggota TNI dan Polri aktif berpolitik akan berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Hal itu juga merupakan bentuk kemunduran reformasi sektor keamanan,” ujarnya.

Al Araf mengatakan, upaya untuk tidak melibatkan militer maupun polisi dalam berpolitik adalah capaian yang esensial dari reformasi 1998. Dengan demikian, pembiaran atas langkah-langkah anggota TNI dan Polri dalam berpolitik (sebelum melakukan pensiun dini) adalah bentuk pengingkaran atas reformasi.

“Penting untuk diingat, anggota TNI dan Polri memiliki jiwa esprit de corps dan struktur hirarki komando sehingga sepanjang mereka masih berstatus sebagai anggota TNI ataupun Polri aktif maka akan potensial mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power). Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya pengerahan kekuatan militer ataupun polisi untuk memenangkan Pilkada,” ujarnya.

Yati Andriyani mengatakan, persoalan lemahnya pengaturan dalam UU Pilkada terkait dengan pelibatan militer dan polisi aktif sebagai calon kepala daerah seharusnya tidak dijadikan ruang untuk melegitimasi bagi anggota TNI dan Polri aktif untuk berpolitik.

Pijakan payung hukum tentang larangan bagi anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik cukup jelas diatur dalam UU TNI dan UU Polri sehingga dalih lemahnya UU Pilkada tidak bisa dijadikan celah bagi para anggota TNI dan Polri aktif untuk melakukan langkah-langkoh politik dalam Pilkada.

“Kami memandang, bahwa sangat penting dan sudah menjadi keharusan bagi aparat keamanan (Polisi, TNI, Intelijen) untuk bersikap netral dan profesional menjelang dan pada saat pelaksanaan hajatan Pilkada ke depan,” ujarnya.

Asfinawati menambahkan, pemihakan pada salah satu kandidat atau pemanfaatan situasi politik untuk tujuan lain yang merupakan bentuk dari penyimpangan profesionalitasnya harus dihindari. Dalam konteks ini, profesionalisme aparat sangat penting dan dibutuhkan untuk menjamin dan memastikan proses Pilkada berjalan demokratis, aman dan damai.

“Hal ini ini harus diwujudkan dengan independensi dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Keberpihakan aparat terhadap salah satu kandidat justru akan mengancam keamanan pelaksanaan Pilkada,” ujarnya.
Jedah Waktu

Untuk itu, ada beberapa rekomendasi yang diajukan koalisi untuk perbaikan ke depan.

Pertama, mendesak agar seluruh kandidat calon kepala daerah yang berasal dari TNI dan Polri aktif harus mengundurkan diri sebelum terjun dalam arena politik (Pilkada).

Kedua, meminta Kapolri dan Panglima TNI untuk memastikan setiap calon Kepala Daerah yang berasal dari TNI/Polri tidak menggunakan kekuatan, sumber daya, jejaring teritori TNI/Polri dalam kontestasi Pilkada. Tindakan yang tegas, terbuka dan transparan harus dilakukan terhadap anggota TNI/Polri yang terbukti berpolitik praktis dan atau memberikan dukungan (terbuka atau diam-diam) kepada calon tertentu.

Ketiga, KPU dan Bawaslu melakukan pengawasan atas potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penyimpangan fasilitas jabatan berkaitan dengan pencalonan kepala daerah dari TNI/POLRI;

Keempat, terkait dengan aturan UU yang hanya mengatur tentang kewajiban mundur anggota TNI/Polri aktif yang mengikuti Pilkada ataupun Pemilu sejak ditetapkan sebagai calon dalam pilkada/pemilu, perlu dilakukan pengaturan yang lebih jelas dan spesifik, khususnya berkenaan dengan tenggang waktu pengunduran diri harus jauh sebelum proses pencalonan di tingkat partai dan pendaftaran di KPU. Hal itu penting dilakukan guna mencegah berkembangnya politik praktis di tubuh TNI/Polri dan memastikan netralitas, profesionalisme sektor pertahanan, keamanan,  dan penegakan hukum tidak tergerus oleh kepentingan-kepentingan politik.

Kelima, partai politik sebagai salah satu mesin demokrasi untuk secara serius menjaga marwah demokrasi yang merupakan amanat serta cita-cita reformasi dengan memendesak kepada calon anggota TNI dan Polisi aktif untuk mengundurkan diri sebelum maju dalam Pilkada.