Polisi Harus Hati-Hati Gunakan Ketentuan Makar untuk Aktivis Papua

oleh -
Demo Papua di Istana. (Foto: Kompas.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Dalam beberapa hari belakangan, aksi dan demonstrasi pecah di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat. Aksi-aksi ini dilatari terjadinya pelecehan dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di Jawa Timur. Dalam beberapa aksi dan demontrasi tersebut, banyak masyarakat yang kemudian meneriakkan hak untuk menentukan nasib sendiri dan mengibarkan bendera bintang kejora.

Di Jakarta, aksi dan demonstrasi direspon Kepolisian Republik Indonesia dengan menangkap dan menahan 8 (delapan) orang mahasiswa dan aktivis Papua. Melihat pola penggunaan pasal pidana selama ini untuk isu Papua, diduga kedelapan orang mahasiswa dan aktivis tersebut ditangkap karena mengibarkan bendera bintang kejora dan tuntutan untuk menentukan nasib sendiri, sehingga disangkakan dengan pidana makar.

“Berkaitan dengan peristiwa tersebut, kami meminta agar Presiden Joko Widodo, dalam hal ini diwakili Kapolri Jenderal Tito Karnavian, agar memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal berikut,” ujar Deputi Direktur Advokasi ELSAM, Andi Muttaqien  dan Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu melalui siaran pers di Jakarta, Senin (2/8).

Pertama, Kepolisian Republik Indonesia harus secara proporsional dan komprehensif melihat serta menimbang latar belakang isu Papua yang berkembang dalam beberapa hari ini. Perjuangan dan demonstrasi beberapa hari ini sekali lagi didasari atas masalah pelecehan dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua yang lambat direspon oleh Pemerintah Indonesia, serta belum adanya kejelasan mengenai penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua.

Di lain sisi, katanya, bendera bintang kejora adalah simbol yang sudah menjadi kultur bagi masyarakat Papua, sehingga demonstrasi dengan menggunakan bendera bintang kejora adalah sebuah ekspresi kultural, sehingga tidak dapat dikatakan adanya makar.

Kedua, diskusi, ekspresi atau pendapat politik tidak dapat dijerat pasal Makar. pasal makar 106 KUHP berbunyi “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun”. Merujuk pada rumusan pasal 87 KUHP, maka harus ada niat dan permulaan pelaksanaan untuk memisahkan sebagian wilayah Negara.

Makar yang berasal dari kata aanslag dalam bahasa belanda, yang artinya serangan menunjukkan bahwa ukuran permulaan pelaksanaan haruslah sebuah perbuatan yang dapat diprediksi akan mampu memisahkan sebagian atau seluruh wilayah Negara, paling mendasar adanya penggunaan kekuatan.

Dalam hal perbuatan itu berupa diskusi, ekspresi atau pendapat maka hal ini tidak bisa diterapkan. Sebagai catatan, dalam pembahasan pasal makar saat pembentukan KUHP belanda, hal ini juga telah disebut, bahwa Makar harus dibedakan dengan diskusi-diskusi politik. Sejarah juga mencatat, bahwa para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak satupun yang dijerat dengan Pasal Makar pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Ketiga, tindakan perubahan ketatanegaraan tidak dapat dijerat Makar, termasuk permintaan referendum. Biasanya Pasal 106 KUHP tersebut dikaitkan dengan Pasal 110 KUHP tentang permufakatan jakat untuk melakukan makar. Menarik adalah dalam ketentuan pasal 110 ayat (4) KUHP disebutkan bahwa “Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum”.

“Pasal ini dapat dipahami sebagai pasal pengaman yang dibuat belanda agar diskusi-diskusi dan ekspresi serta pendapat politik tidak bisa dijerat pidana makar, sebagaimana catatan rapat pembentukan KUHP Belanda. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah penentuan nasib sendiri adalah sebuah perubahan ketatanegaraan dalam artian umum atau tidak?,” ujarnya.

KUHP tidak secara spesifik memberikan pengertian terhadap frasa “ketatanegaraan dalam artian umum”, namun bisa disimpulkan bahwa praktik ketatanegaraan bisa dikategorikan dalam hal ini.

Hak menentukan nasib sendiri, menurut ICJR dan ELSAM, memiliki dua pengertian yaitu sebagai upaya penentuan nasib sendiri secara eksternal dalam bentuk Negara tersendiri, namun juga bisa diartikan sebagai penentuan nasib sendiri secara internal dalam bentuk pemerintahan sendiri (self governing). UUD 1945 juga mengatur tentang ketentuan mengenai penentuan nasib sendiri (self governing) yang diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945.

Menariknya, hak untuk menentukan nasib sendiri bukan hal yang tidak pernah dilakukan di Indonesia, tercatat setidaknya praktik ketatangeranaan dalam peristiwa Referendum Timor timur 1999. Proses referendum Timor-timur mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional. Artinya, mengakui dan Indonesia pernah melakukan hak menentukan nasib sendiri sebagai praktik ketatanegaraan dalam arti umum,” ujarnya.

Dalam konteks pengaturan internasional, hak menentukan nasib sendiri juga diatur dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dimana kedua Kovenan tersebut juga menjadi bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia. Secara luas, hak menentukan nasib sendiri adalah bagian dari praktik ketatanegaraan secara umum diakui oleh negara.

Berdasarkan tiga titik tekan di atas, maka ICJR dan ELSAM meminta agar Aparat Kepolisian Republik Indonesia harus berhati-hati dalam menggunakan pasal Makar bagi mahasiswa dan aktivis Papua, serta memberikan akses yang seluas-luasnya terhadap para mahasiswa dan aktivis tersebut untuk mendapatkan bantuan dan pendampingan hukum dari Pengacara. “Mereka harus dilepaskan apabila tidak ada tindakan yang memang dapat dijerat dengan Makar,” pungkasnya. (Ryman)