Merahnya Ajaran Bung Karno

oleh -
Benny Sabdo, anggota Bawaslu DKI Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh: Benny Sabdo*)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – “Merahnya Ajaran Bung Karno menguraikan soal bagaimana Soekarno memperjuangkan praksis politiknya sampai beliau wafat. Hari ini ada kebutuhan bangsa untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran Soekarno,” Ir. Bambang “Patjul” Wuryanto, MBA, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan.

Buku bertajuk “Merahnya Ajaran Bung Karno” karya Airlangga Pribadi Kusman ini sungguh menyodorkan energi intelektual. Ia menyelidiki secara radikal pemikiran Bung Karno melalui karya dan sejarah aksi politik. Pada buku ini kita tidak saja diajak mengambil api Bung Karno sebagai pejuang-pemikir, namun juga melalui pintu Bung Karno kita diajak untuk memahami bagaimana dunia dan Indonesia bergerak secara dialektis pada masa lalu serta relevansi Marhaenisme Bung Karno untuk membaca kondisi kontemporer, dan tawaran untuk mengubahnya dalam arah yang lebih maju.

Airlangga melalui buku ini juga bermaksud membantah kesimpulan sembrono dari kalangan akademikus, khususnya yang menyelidiki tentang Soekarno. Misalnya, Peter Worsley membandingkan antara Sutan Sjahrir dan Soekarno. Ia menjelaskan Sjahrir sebagai pemimpin cemerlang yang secara intelektual memiliki pemahaman yang tuntas dan koheren tentang sosialisme. Sedangkan Soekarno tidak memiliki wawasan intelektual yang kuat dan tidak begitu koheren wawasan intelektualnya seperti Sjahrir dan Hatta, namun memiliki kemampuan untuk merangkul massa dan mengarahkan energi politik mereka dalam corak politik nasionalisme populis.

Konsekuensi dari logika Peter Worsley, jika daya persuasi dan karisma Soekarno lebih kuat daripada intelektualitasnya, maka tidak penting lagi membedah intelektualitas Soekarno. Pidato Soekarno pada lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 adalah gagasan intelektual Soekarno sebagai bagian fundamental dari filsafat dasar negara Pancasila. Pidato ini sangat brilliant, di dalamnya berisi argumen intelektual yang sangat kaya. Menurut Profesor Peter Dale Scott, Soekarno berhasil dengan baik menyeimbangkan berbagai pandangan filosofis terkait nasionalisme, humanisme, demokrasi, keadilan sosial, serta toleransi kemanusiaan di suatu negeri dengan mayoritas umat Islam. Gagasan yang merupakan suatu prestasi besar yang tidak dapat disaingi oleh negeri-negeri muslim di dunia mana pun.

Tatkala kita mengkaji Pancasila dibutuhkan pemahaman kerangka berpikir, metode serta cara pandang dari Bung Karno, sang penggali Pancasila. Sebab Pancasila sendiri adalah perasaan dari pikiran dan pengalaman dalam kancah perjuangan Bung Karno. Rumusan Pancasila ia ungkapkan pada awalnya untuk menjawab atas dasar apakah republik Indonesia didirikan. Penelusuran ajaran Marhaenisme sebagai milestone terpenting konsolidasi ideologi Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga melekat sebagai ideologi dan teori pembebasan wong cilik, kaum Marhaen. Karena itu, Pancasila harus dibumikan secara progresif dengan praksis keberpihakan terhadap kepentingan rakyat.

Kekuatan intelektual Soekarno, yaitu dalam konsepsi-konsepsi yang ia formulasikan menjadi bagian dari arus besar dialektika sejarah konkrit yang berlangsung di Indonesia. Pancasila dalam tafsir buku ini adalah hasil kondensasi atas rangkaian konsepsi-konsepsi utama dari pemikiran Soekarno: sosio-nasionalisme; sosio-demokrasi dan ketuhanan sebagai titik tolak untuk membebaskan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dengan mengelaborasi secara teoritik ajaran-ajaran Soekarno, maka buku ini juga bertujuan untuk mendiskusikan pemikiran Soekarno dengan gagasan dunia, baik pada zamannya maupun menempatkan ajaran Soekarno sebagai pijakan jalan perjuangan kaum Marhaen di era kontemporer.

Ajaran-ajaran Soekarno dalam horizon narasi pembebasan berjejak dalam kondisi sosial kehidupan rakyat. Sebagai narasi pembebasan, gagasan Soekarno yang berpusat pada Marhaenisme memiliki tujuan mendampingi rakyatnya untuk bangkit dari ketidakberdayaan, kekalahan dan ketidakmampuan akibat belenggu penjara-penjara struktural. Tujuan utama dari perubahan sejarah adalah pembebasan rakyat Marhaen, ajaran-ajaran Soekarno tidak bisa dipahami semata-mata sebagai suatu teori perubahan sosial belaka. Soekarno bertolak dari pendekatan tradisi teori kritis. Kritik adalah bentuk pengetahuan spesifik yang secara akademik berakar pada tradisi filsafat idealisme Hegelian. Kemudian, dikembangkan oleh Karl Marx sebagai suatu cara memahami masyarakat beserta totalitas sosialnya.

Kritik bukan sekadar memberikan bentuk perlawanan terhadap kemapanan. Kritik sebagai tradisi berpikir adalah upaya untuk menghubungkan diri dengan dunia. Sebuah cara untuk memahami realitas dengan segenap totalitas sosial yang ada di dalamnya. Upaya untuk memahami bagaimana manusia sebagai subjek berpengetahuan terkoneksi dengan objek sosial. Kritik adalah cara untuk menyelami kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan yang lebih mendalam dan rasional terhadap dunia. Bagi Immanuel Kant, kritik adalah upaya menghubungkan persepsi terhadap objek di dalam pikiran dan pikiran rasional serta konsepsi kita terhadap objek tersebut.

Sementara dalam perspektif ekonomi-politik, Marx menguraikan kritik adalah bagaimana menghubungkan komoditi sebagai fenomena dunia material ekonomi dengan berbagai aspek sistem produksi, proses eksploitasi kerja manusia, serta pola kekuasaan di dalam masyarakat. Dengan demikian, teori kritis memiliki tugas intelektual untuk membongkar kondisi sosial yang dengan cara itu pengetahuan rasional tentang dunia beserta totalitas sosialnya tersibak. Pandangan Soekarno tidak selesai pada dimensi kritis, akan tetapi melampaui itu. Tujuan dari perjuangan Soekarno adalah membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu ketertindasan dari sistem dunia kapitalisme-imperialisme. Oleh karena itu, kemerdekaan politik belum menyelesaikan jalan perjuangan pembebasan rakyat Indonesia. 

Airlangga sebagai intelektual pendukung ajaran Soekarno menempatkan diri dalam dialog kritis dengan melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Soekarno dalam semangat zaman kekinian. Buku ini dapat menjadi kiblat untuk merawat makna api revolusioner dari tradisi awal pandangan kritis ala Indonesia yang fondasinya telah diletakkan oleh Soekarno. Meskipun proyek pembebasan saat ini memiliki jalannya sendiri, hal itu tidak bertolak dari tabula rasa. Karena Soekarno memiliki misi heroik, yakni menambah tenaga kaum Marhaen.

*) Penulis adalah Anggota Bawaslu DKI Jakarta