Rektor Asing, Akankah Mubazir?

oleh -

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Menteri Ristek Dikti Prof M Nasir menyampaikan bahwa ada calon rektor dari Korea sudah menawarkan diri. Juga ada warga dari Amerika dan Inggris yang sudah menanyakan prosedur.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa sejatinya untuk mendapatkan rektor asing yang terbaik seharusnya Kementerian Ristek Dikti membajak Rektor yang sedang bertugas atau segera menyelesaikan tugas di universitas yang masuk ranking 100.

“Namun bila ada orang dari luar negeri yang menawarkan diri atau mencari tahu dikhawatirkan mereka hanyalah pencari kerja (job seeker). Bila ini yang terjadi maka Kemenristek Dikti tidak akan mendapatkan calon rektor yang terbaik,” ujarnya di Jakarta, Jumat (2/8).

Untuk mendapatkan rektor kelas atas dari luar negeri harus dilakukan dengan membajak yang artinya inisiatif harus ada pada Kemenristek Dikti, bukan dari calon rektor asal luar negeri.

Tapi bila yang membajak adalah Kemenristek Dikti maka berarti ini telah menyimpang dari proses pencalonan rektor yang berlaku di kebanyakan kampus yang telah mapan. Membajak berarti Kemenristek Dikti akan menaruh calon rektor. Padahal proses yang selama ini berlaku adalah proses bottom up, bukan top down.

“Konsekuensinya Anggaran Rumah Tangga universitas yang mapan harus diamandemen. Tentu ini tidak akan mudah karena melibatkan banyak stakeholders. Bukannya tidak mungkin ide mengimpor rektor ke sejumlah PTN akan lama untuk diwujudkan,” ujarnya.

 

Akankah Mubazir?

Menurut Hikmahanto, ide Presiden untuk mengundang rektor asal luar negeri dengan harapan dapat mendorong perolehan ranking tingkat dunia bisa jadi mubazir bila tidak mempertimbangkan tiga hal berikut.

Pertama, sejatinya yang penting itu masuk dalam ranking, atau proses dimana ranking hanyalah konsekuensi. Karena kalau yang dipentingkan ranking maka akan dicari berbagai jalan pintas.

Mengelola PTN, katanya, sama seperti menanam tanaman keras. Berbuahnya lama. Mendatangkan rektor dari luar negeri tidak mungkin dalam sekejap mengubah mindset dosen yang merasa tugasnya hanya mengajar menjadi dosen yang mengajar dan meneliti dimana hasil penelitiannya dimasukkan dalam jurnal internasional bereputasi.

“Perubahan ini bisa jadi harus menunggu estafet dari para dosen senior kepada dosen junior. Ini membutuhkan waktu,” ujarnya.

Belum lagi untuk membangun infrastruktur, terutama perpusatakaan dan laboratorium dibutuhkan anggaran yang besar. Padahal anggaran tidak mungkin disediakan oleh negara semata.

Kedua, melihat universitas yang masuk dalam ranking 10 dunia maka universitas tersebut menawarkan program studi untuk mahasiswa asal mancanegara. Nah kalau universitas di Indonesia masih berkutat dengan mahasiswa asal Indonesia.

Belum lagi universitas di Indonesia belum mampu menawarkan remunerasi yang sangat memadai bagi para pengajar mancanegara untuk mau datang. Kalaupun ada para pengajar mancanegara yang saat ini bekerja di universitas di Indonesia mereka bukanlah pengajar kelas satu.

Karena itu, kata Hikmahanto, untuk mendatangkan para pengajar dunia remunerasi harus sangat memadai dan infrastruktur kampus harus memadai agar mereka bisa terus meneliti. “Siapapun rektor baik yang berasal dari dalam atau luar negeri tidak mungkin bisa melakukan itu semua bila infrastruktur di kampus tidak memadai,” ujarnya.

Ketiga, apabila kebutuhan saat ini adalah rektor yang punya jejaring luas ke dalam maupun luar negeri ada baiknya mencari rektor dari dalam negeri yang mempunyai tiga kriteria utama. Memiliki percaya diri yang tinggi dan sudah memiliki nama besar ditingkat nasional maupun internasional. Terakhir menguasai bahasa Inggris yang sangat lancar layaknya penutur asli.

Figur seperti itu ada banyak di Indonesia. Namun mereka biasanya enggan berpolitik untuk meraih jabatan rektor. Ini yang menjadi penghambat mengingat politik baik yang berasal dari dalam maupun luar kampus sangat kental untuk mendapatkan jabatan rektor.

Karena itu, bila orang-orang seperti demikian diberi kepercayaan maka mereka akan mampu melakukan banyak hal untuk PTN.

“Justru yang tidak seharusnya dipilih adalah mereka-mereka yang berupaya mendapatkan jabatan rektor di PTN agar bisa meraih jabatan publik yang lebih tinggi di Republik. Kadang mereka-mereka inilah yang sangat lihai bermain politik,” pungkasnya. (Ryman)