Ini Lima Akar Kegaduhan Hubungan Indonesia-Israel

oleh -
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Dalam sepekan ini kegaduhan muncul terkait berita dari “The Times of Israel” edisi 11 Desember 2020, yang mewartakan bahwa Indonesia berkeinginan membangun hubungan dengan Israel, setelah sejumlah negara Arab melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana ada lima hal yang perlu dicermati agar masyarakat di Indonesia memahami akar masalah kegaduhan tersebut.

Pertama, katanya, apa yang diberitakan oleh “The Times of Israel” bukanlah pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia maupun Israel.

“The Times of Israel hanya mengutip dari media televisi di Israel yang mengutip pejabat Israel yang tidak disebutkan identitasnya,” ujar Rektor Universitas Jenderal A Yani melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (17/12).

Kedua, “The Times of Israel” hanya menyebut kata hubungan publik atau dalam bahasa Inggris “public ties” tanpa menyebut apakah hubungan tersebut adalah hubungan diplomatik (diplomatic ties).

Ketiga, sebagaimana telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri, Indonesia tidak akan mengakui Israel sebagai negara dan membuka hubungan diplomatik sebelum Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Kebijakan ini telah sesuai dengan preambul dari Undang-undang Dasar 1945.

Presiden Jokowi pun telah mendapat apresiasi dari Presiden Mohammad Abbas dalam pembicaraan melalui tilpun tanggal 16 Desember lalu bahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka. “Presiden tidak sekadar ikut-ikutan sejumlah negara Arab,” ujarnya.

Keempat, sudah lama para pelaku usaha dan profesional asal Israel mengunjungi Indonesia. Karena itu, sebaliknya, warga Indonesia juga melakukan kunjungan wisata religi ke Israel.

Terkait kunjungan pelaku usaha dan profesional Israel ke Indonesia maka mereka harus mendapatkan ‘calling visa’.

Calling visa ini artinya pelaku usaha dan profesional harus mendapat undangan atau sponsor dari pihak Indonesia yang membutuhkan.

Ini tersebut, menurut Hikmahanto, berbeda dengan warga dari kebanyakan negara sahabat Indonesia yang warganya dapat meminta visa untuk masuk ke Indonesia tanpa undangan atau sponsor dari pihak Indonesia.

Kelima, selama ini bila warga Israel mendapat undangan untuk datang ke Indonesia maka mereka harus mengajukan permohonan ke kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara mengingat Indonesia tidak memiliki kedutaan di Israel.

Karena itu, mengingat birokrasi yang panjang bagi warga Israel yang diundang oleh pihak Indonesia, Kemenkumham melalui Direktorat Jenderal Imigrasi hendak memotong birokrasi tersebut.

Calling visa tersebut tidak perlu lagi untuk dimohonkan ke kedutaan-kedutaan Indonesia di berbagai negara tetapi langsung ke Direktorat Jenderal Imigrasi.

“Jadi, disinilah letak permasalahan karena mungkin pejabat Israel yang menyampaikan ke media Israel menganggap inisiatif Ditjen Imigrasi sebagai keinginan Indonesia untuk membangun hubungan publik. Dalam bahasa The Times of Israel ‘was eager to have public ties with Israel’,” ujar Hikmahanto.

Terlepas dari kegaduhan yang sempat muncul itu, Hikmahanto meminta para pejabat harus memahami sensitifitas publik Indonesia bila terkait dengan Israel.

“Meski Indonesia dan Israel dalam kenyataan sudah melakukan hubungan ‘people to people’, namun bila hendak dikongkritkan maka akan menuai masalah,” ujarnya.

Hikmahanto mencontohkan almarhum Gus Dur saat menjadi Presiden banyak menuai protes saat menyampaikan kebijakan akan menormalisasi hubungan dagang Indonesia dengan Israel. Padahal hubungan dagang sama sekali berbeda dengan hubungan diplomatik.

Indonesia dan Taiwan, misalnya, meski tidak memiliki hubungan diplomatik namun memiliki hubungan dagang.

“Pelajaran bagi para pejabat publik adalah bila hendak membuat kebijakan yang sensitif di mata masyarakat maka mereka harus pandai dalam menarasikan,” pungkasnya. (Ryman)