Santri Masa Kini Dihadapkan pada Tantangan Kebangsaan dan Keagamaan

oleh -
Ketua Kajian Aswaja Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (LBM PWNU Jateng), H. M. Ulil Albab Djalaluddin. (Foto: Ist)

Semarang, JENDELANASIONAL.ID – Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap 22 Oktober bukanlah politisasi terhadap umat Islam, tetapi merupakan wujud rekognisi dan afirmasi pemerintah atas jasa dan peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Santri masa kini dihadapkan pada beragam tantangan kebangsaan dan keagamaan, berupa maraknya intoleransi beragama, bahkan ekstremisme yang menjurus pada kekerasan dan teror. Semua itu bermula dari mandegnya pemikiran keislaman sehingga umat Islam mudah didoktrin oleh ideologi kebencian yang menebar perpecahan.

Oleh sebab itu, Ketua Kajian Aswaja Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (LBM PWNU Jateng), H. M. Ulil Albab Djalaluddin, menekankan pentingnya menonjolkan semangat menuntut ilmu dan moderasi beragama bagi para santri dalam rangka peringatan HSN guna menghadapi tantangan kekinian terkait intoleransi dan ideologi radikal ekstremisme.

“Pada hari santri, semangat yang harus ditonjolkan yaitu kita harus selalu belajar dan belajar, harus selalu meningkatkan literasi referensi kita. Artinya ketika kita ingin menjadi santri yang moderat, maju, tentunya kita harus menggali, mempelajari kutubus salaf yaitu kitab-kitab warisan ulama salaf,” ujar

di Semarang, Rabu (19/10/2022).

Dirinya melanjutkan, Hari Santri yang akan jatuh pada 22 Oktober, sangat identik  dengan peristiwa Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadaratus Syeck KH. Hasyim Asy’ari menandai pentingnya peran santri, pesantren dan umat Islam berjihad khususnya dalam konteks kekinian.

“Jihad tentunya sesuai dengan profesinya. Jadi Mujahid fisabilillah ini tentunya bukan yang era sekarang yang angkat pedang,  yang dikit-dikit takbir itu bukan, bukan seperti itu. Artinya jihad di era milenial di zaman ini ya sesuai dengan profesi,” jelas pria yang akrab disapa Gus Ulil tersebut.

Sebagaimana ditegaskan dalam kitab, kewajiban jihad sejatinya hanya sebagai perantara. Karena tujuan jihad itu adalah memberi pencerahan kepada umat. Ketika memberi pencerahan kepada umat itu tanpa dengan angkat senjata tentunya itu lebih baik daripada memberi pencerahan dengan angkat senjata.

“Dan khususnya jihad oleh santri, karena sudah banyak ideologi-ideologi yang menyimpang yang mau merongrong NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), adalah membangun argumentasi keagamaan untuk melawan kelompok tersebut, yang merongrong aqidah Alussunnah Wal Jamaah, aqidahnya Islam nusantara. Kita harus tampil melawan dengan referensi,” ungkapnya.

 

Propaganda Politik Identitas

Dalam kesempatan itu, Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) ini menyinggung terkait mulai munculnya riak-riak propaganda politik identitas menjelang tahun politik mendatang. Dirinya mewanti-wanti kepada segenap santri untuk bertawasut (bersikap tengah, tidak fundamentalis atau terlalu liberalis) serta menguatkan pemahaman terkait siasah atau politik agar menjadi santri yang cerdas, relijius dan berjiwa nasionalis.

“Kita harus tawasut, dalam hal Siasah dalam hal politik juga kita harus tawasut. Karena sejatinya Siasah atau politik adalah mengupayakan bagaimana masyarakat itu selamat dunia dan akhirat. Politik identitas harus kita hindari. Makanya, jadi pemilih yang cerdas,” kata Gus Ulil.

Artinya, janganlah memilih pemimpin yang memiliki indikator akan memecah belah masyarakat Indonesia, terlebih memainkan politik identitas. Untuk itu Gus Ulili menekankan, para santri  dan segenap masyarakat harus cerdas, mencari pemimpin yang adil, nasionalis, berwawasan kebangsaan yang luas, serta religius.

Pria yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Kongsi Wonosobo ini, juga menilai perhatian pemerintah terhadap kalangan pesantren dan santri sudah sangat baik ditandai dengan lahirnya undang-undang pesantren, peringatan Hari Santri Nasional. Pemerintah menurutnya hanya perlu untuk meningkatkan sinergi dan memberikan fasilitas kepada para santri agar mampu berkarya untuk bangsanya.

“Artinya pemerintah harus memberikan fasilitas kepada santri agar santri bisa berkarya, mungkin bisa memfasilitasi dalam hal media dan sebagainya. Artinya pemerintah harus bersinergi kepada santri yang Al Sunnah Wal Jamaah,  santri yang membela NKRI, santri yang wasathiyah,” tegasnya.

Sebagaimana dirinya yang merupakan bagian dari Ittihadul Mutakharrijin Al Falah Ploso (IMAP/Ikatan Alumni Ponpes Al-Falah), menegaskan bahwasanya IMAP membawa nilai-nilai dalam menjaga keutuhan NKRI dan menjaga aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sehingga alumni santri IMAP yang berjumlah ribuan di seluruh pelosok negeri ini memiliki kecintaan terhadap tanah air dan memiliki imunitas dari ideologi radikal ekstremisme, serta siap bersinergi dengan pemerintah dalam melawan ideologi yang merongrong Pancasila.

“Alhamdulillah kalau di IMAP insyaallah aman. Karena  sanadnya muttashil sampai kanjeng Nabi. Artinya santri NU amanlah, itu yang membedakan kita dengan kubu sebelah adalah sanad. Dan salah satu pondok besar itu kan Pondok Al-Falah Ploso, kalau alumninya bergabung dalam organisasi IMAP,” tuturnya.

Gus Ulil juga menyampaikan proyeksinya dalam 10 tahun ke depan, yaitu bagaimana santri mampu berperan dan berkarya bagi bangsanya. Santri yang mampu menjadikan Indonesia berkiblat pada Islam di dunia internasional.

“Harapan kita bagi santri sekarang dan yang datang untuk 10 tahun kedepan tentunya kita harus mempersiapkan keilmuan kita. Bagaimana agar Indonesia itu bisa menjadi kiblatnya Islam di dunia internasional. Tentunya harus meningkatkan belajar kita agar Islam di Indonesia bisa  besar tidak hanya secara kuantitas tapi harus besar secara kualitas,” pungkas Gus Ulil. **