Sebuah Catatan: Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial

oleh -
Franz Magnis Suseso. (Foto: Ist)

Prof. Franz-Magnis Suseno, SJ

Demokrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang sejak awal terbentuknya negara. Terjadi berbagai pro kontra tentang sistem demokrasi, bahkan di antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno memikirkan demokrasi desa, sedang Bung Hatta melihat demokrasi Barat lebih cocok.

Undang-Undang Dasar ’45 pun mengalami tahap demokratisasi. Naskah UUD’45 awal yang paling asli tidak demokratis. UUD Sementara yang dibuat bahkan ekstrim liberal, mirip era Perancis tahun 50’an. Amandemen dengan poin-poin Hak Asasi Manusia (HAM) membuatnya lebih demokratis.

Sebagai sebuah negara, kita melewati proses reformasi, perombakan demokrasi besar-besaran seperti sistem multipartai, jaminan kebebasan agama-budaya dan lain sebagainya. Tokoh seperti B.J. Habibie dan Gus Dur berperan sebagai sebuah proses. Demokrasi tak pernah berhenti dan selalu relevan untuk dijadikan dasar refleksi sebuah negara.

Meski dianggap sebagai sebuah sistem yang adil, faktanya tidak mudah untuk diterapkan begitu saja. Demokrasi pertama kali muncul untuk melawan sistem feodalisme. Gereja Katolik pun “lama sekali” menyadari dan mendukung demokrasi karena persepsi yang keliru. Kedaulatan rakyat dipakai untuk menghadapi kedaulatan Raja, bukan untuk melawan kedaulatan Tuhan.

Gereja Katolik lewat Konsili Vatikan II kemudian melakukan rekonsiliasi dengan “modernitas”. Lahirlah Ajaran Sosial Gereja yang lebih peka terhadap masalah buruh, kebebasan beragama dan lain sebagainya.

Demokrasi adalah JAMINAN akan Hak-hak Asasi Manusia. Di dalam demokrasi yang berkuasa adalah hukum, bukan kediktatoran mayoritas. Maka, dalam sebuah negara, fungsi Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting. Suara mayoritas mungkin masih menentukan, akan tetapi tidak akan pernah bisa menghilangkan hak-hak asasi minoritas.

Demokrasi dari sejarahnya lahir untuk memerangi feodalistik. Dimana kesejahteraan sosial akhirnya bergerser, bukan lagi dari kebaikan para elite, melainkan oleh struktur. Ada kekuatan struktural (hukum) yang menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial. Contoh, UMR (Upah Minimum Regional), ditentukan oleh struktur, tidak secara individual. Dalam konteks ini di Indonesia, BPJS kiranya adalah permulaan yang baik. Oleh karena itu, jelas ada hubungan erat antara demokrasi dan kesejahteraan sosial.

Demokrasi diperlukan dalam sebuah negara, karena dengannya, orang dapat “bersuara”. Demokrasi menghidupkan keadilan sosial. Kita ingat, jaman Pak Harto, buruh tidak bisa bicara karena ada struktur politik. Ada juga struktur-struktur lain seperti sosial budaya yang menyebabkan ketidak-adilan. Oleh karena itu, demokrasi diperlukan untuk membentuk keseimbangan struktur.

Fakta di dunia, tidak ada satu pun negara di dunia dengan sistem demokrasi yang rakyatnya mati kelaparan. Karena rayat yang “lapar”, di negara demokrasi, bisa marah betul, bersuara dan melengserkan pimpinan dan menggantinya dengan yang lebih baik.

Isu demokrasi saat ini sangat relevan, baik dalam kaitannya dengan kesejahteraan maupun keadilan sosial. Penekanan pada dua hal ini sangat tepat. Orang perlu merasa yakin bahwa ada jaminan akan masa depan. Dari sisi keadilan sosial, demokrasi bukan sekedar kebebasan, jadi (seharusnya) tidak akan ada penindasan. Ada Jaminan HAM. Demokrasi yang benar membawa pada kebangsaan, ke-Indonesiaan. Dengan sendirinya, inilah yang akan menjadi antidot radikalisme dan ekstrimisme yang meresahkan.