Cita Kebangsaan Indonesia Bung Karno

oleh -
Benny Sabdo, anggota Bawaslu DKI Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh: Benny Sabdo*)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Cuaca gerimis melingkupi kawasan makam Sang Proklamator Bung Karno yang magis, di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur pada malam menjelang 1 Juni 2023. Pimpinan Bawaslu Republik Indonesia Herwyn J.H. Malonda memimpin ziarah dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila, yang berlangsung secara khidmad. Ziarah diikuti oleh kader GMNI yang ditugaskan sebagai anggota Bawaslu Provinsi se-Indonesia. Setelah doa bersama, dilanjutkan dengan menaburkan bunga di pusara makam Sang Proklamator. Ziarah ke makam Bung Karno kali ini bukan sekadar merawat tradisi, melainkan untuk menyalakan api perjuangan dalam mewarisi cita kebangsaan Indonesia Bung Karno. 

“Pemilihan Umum djangan mendjadi tempat pertempuran. Perdjuangan kepartaian yang dapat memetjah persatuan bangsa Indonesia,” (Soekarno dalam sebuah pamflet 1955). Negara demokrasi sebagaimana telah dipelopori bangsa Yunani kuno membutuhkan proses politik yang penuh tanggung jawab. Tanggung jawab ini baru akan tampak bila para elit politik memiliki etika memadai berdasarkan hukum yang telah disetujui bersama, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Semakin dekat dengan tahun politik pemilihan presiden. Salah satu fenomena yang patut kita dicegah, yakni kecenderungan polarisasi yang memecah-belah masyarakat. Polarisasi politik adalah dua kelompok berpaham yang berbeda secara politis. Fenomena polarisasi politik ini tergolong keji dalam jagad perpolitikan Indonesia. Polarisasi ini terjadi karena adanya komitmen yang kuat terhadap ideologi atau kandidat sehingga memecah-belah masyarakat. Polarisasi membuat suatu kelompok menganggap pandangan dan prinsipnya yang paling benar. Dan, beranggapan kelompok yang bersebrangan itu salah pandangan politik dan moralitasnya.      

Bung Karno juga mengingatkan supaya kita tidak terjebak pada permusuhan dan kebencian. Ia menulis bahwa orang Islam banyak yang di dalam urusan pencaharian-rezekinya melanggar azas-azas kemasyarakatan. Oleh karena itu, kini pun dan dulu kita sudah melihat “permusuhan dan kebencian” di kalangan orang Islam. Dalam konteks kekinian, permusuhan dan kebencian itu terefleksi, misalnya dengan adanya politisasi SARA, hoaks serta ujaran kebencian di media sosial yang begitu masif. Politik dimaknai begitu sangat dangkal dan sesat, yaitu hanya urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan belaka. Padahal politik memiliki tugas mulia, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.     

Sikap permusuhan dan kebencian menjadi kata kunci ulasan Bung Karno dalam Pandji Islam bertajuk Der Untergang Des Abendlandes, 1940. Mestinya Indonesia sungguh bersyukur. Jauh sebelum kemerdekaan, para pendiri bangsa, terutama Bung Karno telah memikirkan secara matang konsepsi kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan kultur bangsa. Kultur memiliki peran sangat penting bagi terwujudnya kohesivitas bangsa tatkala menghadapi konflik.

Setiap bangsa, atas perbedaan posisi geografisnya, memiliki sejarah yang juga berbeda. Sejarah membentuk nilai, filsafat, cara pandang dan juga konsepsi tentang masa depan. Dari sejarah pula, dipelajari bahwa faktor geografis ikut mempengaruhi politik. Bung Karno telah memasukkan seluruh aspek sejarah, nilai, filsafat, geopolitik dan cara pandang bangsa Indonesia dalam rumusan yang sangat membumi dan visioner, yakni Pancasila.

Urgensi menghadirkan spiritualitas Pancasila sangat mendesak, mengingat dewasa ini bangsa Indonesia menghadapi kekusutan politik yang tidak mudah diurai menuju kekuasaan yang beradab. Watak kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang menghalalkan segala cara, mulai dari bujuk rayu, intimidasi sampai dengan tekanan fisik. Sedemikian sadisnya pertarungan kekuasaan sehingga ikatan-ikatan pertemanan, keakraban, persaudaraan, bahkan ikatan yang didasarkan atas sentimen primordial; suku, agama, ras dan keturunan tidak dapat dijadikan sarana meredakan pertarungan politik. Bahkan sebaliknya, penyalahgunaan ikatan primordial sebagai sarana perburuan kekuasaan dapat mengakibatkan perang saudara yang sangat kejam dan berlarut-larut.

Para pendiri negara Indonesia menegaskan, pengelolaan kekuasaan yang demokratis bukan menjiplak demokrasi yang dipraktikkan di negara-negara Barat yang bercorak individualistik. Tetapi demokrasi yang memperjuangkan hak-hak sipil dan politik. Bung Karno menyebut Sosio-Demokrasi. Menurut Bung Karno, demokrasi-masyarakat adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berdiri di dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat luas. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Netherland, ala Djerman, dan lain-lain; tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi.

Gagasan itu sejalan dengan pemikiran Bung Hatta meyakini bahwa demokrasi di Indonesia harus berorientasi pada keadilan sosial, kepentingan umum, musyawarah-mufakat serta memiliki semangat kolektivisme. Menurut Bung Hatta, tanda-tanda kolektivisme itu tampak pertama kali pada sifat tolong-menolong. Dalam segala usahanya dan caranya ia mempergunakan tenaganya orang desa masih menyangka dirinya sebagai satu anggota dari kaum. Lebih jelas kelihatan tanda-tanda kolektivisme itu pada hak milik atas tanah. Pergaulan hidup di desa pada mulanya tidak mengenal hak orang seorang atas tanah, tanah itu milik bersama. 

Perdebatan di Amerika dewasa ini mulai diramaikan dengan isu kekecewaan masyarakat terhadap praktik demokrasi di negara tersebut, setelah dilakukan sekitar 200 tahun. Ternyata tidak dapat mengatasi dua permasalahan akut, yakni ketimpangan ekonomi dan rasa tidak aman dari berbagai ancaman, antara lain globalisasi, perubahan iklim, dan lain-lain. Oleh karena itu, dewasa ini berkembang pemikiran untuk mempraktikkan socio-democracy yang dipraktikkan oleh negara-negara Nordic seperti; Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia dan Islandia.   

Selanjutnya, untuk menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menjaga konstitusi dan merawat demokrasi memerlukan kerja bersama dan keterlibatan semua pihak. Terutama pada era sekarang, perjuangan kita menjaga negara dan merawat bangsa menghadapi tantangan yang tidak ringan, terlebih di zaman yang diwarnai “politik pasca-kebenaran”, di mana sinisme dan nyinyir publik telah menjadikan politik semakin jauh dari tujuan kebaikan bersama. Zaman ini memiliki tantangan sendiri, karena itu problematik kebangsaan yang akan kita hadapi punya perspektif kekinian yang harus bisa dipahami dalam horizon sejarah. 

Akhirulkalam, Pancasila sebagai ideologi negara merupakan narasi besar yang membingkai berbagai keberagaman bangsa ini. Melalui Pancasila, rajutan dari bermacam agama, keyakinan, ras, suku, etnis dan golongan dapat terjalin dengan baik hingga saat ini. Pancasila tetap digdaya sebagai visi mulia Bung Karno tentang cita persatuan untuk Indonesia Raya. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 menegaskan: “Kita hendak mendirikan negara ‘semua untuk semua’. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi satu nationale staat”. Selamat Haul ke-53 Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia!

*) Penulis adalah Anggota Bawaslu DKI Jakarta