Indonesia di Tengah Percaturan Geopolitik dan Geostrategi Global

oleh -
Guru Besar Pertahanan dari Universitas Pertahanan, Laksamana TNI (Purn.) Prof. Dr. Marsetio, dalam sebuah acara wawacara eksklusif dengan Dr. Luky Yusgiantoro BSc., Mspec., yang juga Wakil Ketua PP ISKA Bidang Ekonomi yang disiarkan oleh FOKUS (Forum Diskusi) Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) di Jakarta, Jumat (14/8). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — China telah tampil sebagai salah satu negara agresor baru, selain Amerika Serikat. Salah satunya, terbukti dari kekuatan China dalam membangun angkatan bersenjata, khsususnya angkatan lautnya, dengan membangun dua kapal induk, yaitu Shandong dan Liaoning. Namun kapal induk China digerakkan oleh tenaga konvesional, tidak seperti kapal induk Amerika Serikat yang berbahan bakar nuklir, karena itu bisa bertahan lama di laut.

Kapal itu merupakan proyek ambisius Presiden China Xi Jinping yang hendak menguasai dunia. Nafsu China untuk menguasai dunia ini tentu saja bertabrakan dengan kepentingan AS yang juga memiliki tujuan sama, yaitu hendak menjadi polisi dunia.

Guru Besar Pertahanan dari Universitas Pertahanan, Laksamana TNI (Purn.) Prof. Dr. Marsetio. (Foto: JN)

Karena itu, keduanya pun terlibat dalam perang dagang. Perang dagang tersebut bermula setelah Presiden Amerika Serikat Donal Trump mengumumkan pada 22 Maret 2018, bahwa dirinya hendak memberlakukan bea masuk sebesar US$50 miliar terhadap barang-barang Tiongkok, di bawah Pasal 301 UU Amerika Serikat tahun 1974 tentang Perdagangan. Trump menyebutkan telah terjadi “praktik perdagangan tidak adil” dan pencurian kekayaan intelektual tehadap hak kekayaan mereka. Maka sebagai pembalasan, pemerintah Tiongkok juga menerapkan bea masuk untuk lebih dari 128 produk AS, termasuk produk kedelai, ekspor utama AS ke Tiongkok.

Pada 6 Juli 2018 Presiden AS Donald Trump memberlakukan bea masuk terhadap barang-barang Tiongkok senilai $34 miliar, yang kemudian menyebabkan Tiongkok membalas dengan tarif yang serupa terhadap produk-produk AS.

Situasi panas akibat perang dagang tersebut terus berlanjut hingga dunia dilanda pandemi Virus Corona. Sebuah laporan tim Universitas Harvard, Amerika Serikat menyebutkan bahwa virus Corona telah muncul di Wuhan sejak Agustus 2019. Bahkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa dia mengklaim memiliki bukti, virus Corona dikembangkan di sebuah laboratorium di Wuhan, China, yang menjadi pusat wabah. Sedangkan China melaporkan secara resmi adanya virus corona kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 31 Desember 2019.

Proxi war antara kedua negara besar tersebut terus berlangsung, di tengah dunia disibukkan dengan perang terhadap virus Corona. Saling lempar tuduhan terkait siapa yang memproduksi virus Corona itu terus berlanjut hingga saat ini.

“Kita tidak tahu siapa yang benar dari kedua klaim tersebut. Tapi virus Corona tersebut menguji ketahanan sebuah negara, menguji ketahanan ekonominya, ketahanan politiknya maupun sosial budaya. Kita harus menunggu waktu setelah obat virus ini ditemukan baru mengetahui cerita sebenarnya. Tapi menurut saya, virus Corona tersebut terjadi karena wabah alamiah saja,” ujar Guru Besar Pertahanan dari Universitas Pertahanan, Laksamana TNI (Purn.) Prof. Dr. Marsetio, dalam sebuah acara wawacara eksklusif dengan Dr. Luky Yusgiantoro BSc., Mspec., yang juga Wakil Ketua PP ISKA Bidang Ekonomi yang disiarkan oleh FOKUS (Forum Diskusi) Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) di Jakarta, Jumat (14/8). Acara tersebut juga menghadirkan co-host, Hermien Y. Kleden, Wakil Ketua PP ISKA Bidang Luar Negeri.

Menurut Marsetio, dalam sebuah operasi intelijen, biasanya sangat dipegang kerahasiaannya. Karena itu, tak seorang pun mengetahui sebuah kejadian pada saat berlangsung. Namun ketika kejadian tersebut selesai, maka biasanya diketahui dan kemudian dibuka untuk menjadi pembelajaran para pemimpin dunia. Karena itu, sama seperti virus Corona, apakah diproduksi oleh China atau Amerika Serikat, tidak mungkin diketahui saat ini. “Hanya waktu yang nanti bisa mengetahuinya,” ujar mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) pada tahun 2012-2015 itu.

Marsetio mengatakan, daya saing sebuah negara juga diuji dalam kasus pandemi virus Corona ini. Bukan saja daya saing ekonomi, namun juga masalah ketahanan maupun pertahanan sebuah negara. Selain itu, juga diuji terkait energi, maupun solidaritas dan solidaritas pemerintahan. “Kita melihat bahwa Amerika Serikat mengubah doktrin, China dan Australia juga mengubah doktrinnya,” ujar pria kelahiran 3 Desember 1956 tersebut.

Kita bisa melihat bagaimana Singapura misalnya, sebuah negara dengan kekuatan ekonomi yang besar mengalami resesi akibat pandemi ini. Demikian pula Amerika Serikat mengalami resesi yang dalam.

Host acara, Dr. Luky Yusgiantoro BSc., Mspec., yang juga Wakil Ketua PP ISKA Bidang Ekonomi dan co-host, Hermien Y. Kleden, Wakil Ketua PP ISKA Bidang Luar Negeri. (Foto: JN)

Bagaimana dengan Indonesia? “Indonesia bersyukur karena pemerintahan Jokowi tidak melakukan lock down. Bisa dibayangkan jika pemerintah menerapkan lock down maka apa yang terjadi dengan 270 juta penduduk kita. Karena itu, pemerintah hanya menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Skala Besar). Bahkan saat ini pemerintah berupaya membantu UMKM agar tidak terimbas pandemi,” ujar jebolan pendidikan S3 Cultural Studies dengan predikat Cum Laude dari UGM pada tahun 2012 itu.

Semua pemerintah di dunia mengutamakan kepentingan nasionalnya, termasuk Indonesia. Karena itu, Indonesia tidak mau hanya terikat pada negara China ataupun Amerika Serikat. Kita memiliki kepentingan nasional kita sendiri.

Cendekiawan Kemaritiman dari angkatan laut ini mengatakan, siapapun presidennya, tidak mengubah konflik antara Amerika Serikat dan China. Walaupun presiden AS memiliki visi dan misinya sendiri, tapi tidak bisa mengubah kebijakan pertahanannya. “Amerika Serikat telah merevisi buku putih pertahananya, bahwa konsepnya bahwa mereka adalah negara agresor, polisi dunia,” ujar penulis buku “Kepemimpinan Nusantara, Achipelago Leadership” itu.

Demikian juga China, kata Marsetio, sejak tahun 1970 negara tersebut telah mengirim banyak mahasiswa untuk belajar di Amerika Serikat. “Ada 340 ribu mahasiswa yang belajar S1, S2 dan S3 di Amerika. Karena itu, mereka meniru kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat setelah para mahasiswa itu pulang ke China. Politik luar negeri Amerika dikloning oleh China,” ujarnya.

Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI dan DPR/DPD RI Tahun 2020 pada Jumat (14/8) mengatakan bahwa perkonomian dunia saat ini ibarat dengan sebuah komputer yang sedang mengalami hang, karena itu perlu di-restart. Karena itu, katanya, Indonesia juga memiliki peluang yang sama dengan negara lain dalam memajukan perekonomiannya.

“Ibarat komputer, perekonomian semua negara saat ini sedang macet, sedang hang. Semua negara harus menjalani proses mati komputer sesaat, harus melakukan restart, harus melakukan re-booting. Semua negara mempunyai kesempatan men-setting ulang semua sistemnya,” ujar Presiden Jokowi.

Karena itu, pemerintah Indonesia harus “membajak momentum” tersebut untuk memajukan perekonomian nasional sehingga menjadi setara dengan negara-negara maju yang lain.

“Kita harus ‘membajak’ momentum krisis dengan serentak dan serempak untuk menjadikan Indonesia Maju seperti yang kita cita-citakan,” ujar Presiden Jokowi.

Karena itu, pemerintah Indonesia melalui kekuatan diplomatiknya memegang peran penting dalam mendayung perahu Indonesia Raya ini di antara dua karang, Amerika Serikat dan China. Kepiawaian Indonesia sangat dibutuhkan agar kapal ini tidak terbentur pada salah satu karang, atau bahkan membentur kedua karang. (Ryman)