Kemlu Bisa Protes Kapal Coast Guard Vietnam Menabrak KRI Tjiptadi 381

oleh -
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D. (Foto; Ist)

Natuna, JENDELANASIONAL.ID — Insiden di wilayah Laut Natuna Utara bisa terjadi karena adanya klaim tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengatakan, ZEE bukanlah laut teritorial dimana berada dibawah kedaulatan negara (state sovereignty). ZEE merupakan laut lepas dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.

“Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya,” ujar Hikmahanto melalui siaran pers di Jakarta, Senin (29/4).

Dalam insiden yang terjadi KRI Tjiptadi 381 menganggap dirinya berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam, namun di sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal coast guard-nya merasa KRI Tjiptadi 381 tidak berwenang melakukan penangkapan.

Kata Hikmahanto, dari klaim tumpang tindih itulah kedua otoritas menyatakan diri berwenang. Dan kemudian terjadi insiden penabrakan oleh kapal coast guard Vietnam yang ingin membebaskan kapal nelayannya dari penangkapan oleh KRI Tjiptadi 381.

Beruntung awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru.

Dalam hukum internasional, katanya, terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.

Insiden yang terjadi kerap muncul di wilayah laut dimana dua atau lebih negara melakukan klaim yang memunculkan tumpang tindih.

Untuk menghindari kejadian seperti ini berulang, kata Hikmahanto, pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan (rules of engagement).

“Sayangnya aturan seperti demikian belum ada diantara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih,” ujarnya.

Dalam insiden ini Pemerintah Indonesia melalui Kemlu dapat melakukan protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. Protes bukan atas pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. “Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan,” ujar Hikmahanto.

Hikmahanto mengatakan, penyelesaian atas insiden ini harus dilakukan melalui saluran diplomatik antar kedua negara dan tidak perlu dibawa ke Lembaga Peradilan Internasional.

Namun, katanya, membawa ke Lembaga Peradilan Internasional memiliki kompleksitas. Pertama akan sangat memakan biaya bahkan biaya untuk berperkara akan melebihi biaya yang diderita oleh KRI Tjitadi 381.

Kedua negara yang bersengketa harus menyetujui untuk membawa ke Lembaga Peradilan Internasional. “Terakhir antar negara ASEAN sudah seharusnya penyelesaian sengketa mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat,” pungkasnya. (Ryman)