Pandangan 3 Guru Besar: Moderatisme Miliki Akar Sejarah Panjang di Indonesia

oleh -
Toleransi beragama. (Foto: Ilustrasi)

JAKARTA, JENDELANASIONAL.ID – Guru Besar al-Mustofa International University, Iran, Prof. Dr. Hossein Muttaghi mengatakan, moderatisme dan toleransi dalam Islam sangat penting. Dan hal ini bisa dipahami dari inti ajaran agama Islam berupa pesan-pesan Ketuhanan, dan juga karena faktor tanah air Indonesia. Ajaran agama Islam berisi 100% ajaran yang mengandung moderatisme dan toleransi.

Hal itu dikatakannya dalam seminar internasional yang mengambil tema “Merawat Toleransi Beragama” pada Selasa (13/6). Seminar ini adalah hasil kerja sama Universitas Paramadina dengan  Al-Musthafa International University (Iran) dan  STAI Sadra didukung Paramadina Graduate School of Islamic Studies & Asosiasi Aqidah & Filsafat Islam.

Seminar ini dihadiri oleh tiga guru besar yaitu Prof. Dr. Hossein Muttaghi, Guru Besar al-Mustofa International University, Iran, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta, dan Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Guru Besar Universitas Paramadina, dengan moderator Dr. M. Subhi-Ibrahim, Kaprodi Magister Ilmu Agama Universitas Paramadina.

Prof Hossein mengatakan, Indonesia juga merupakan negara yang punya sejarah panjang serta sejarah akan sikap dan nilai-nilai moderatisme dan toleransi. Moderatisme dalam Islam ketika masuk bangsa Indonesia mengalami asimilasi menjadi sebuah kesatuan nilai yang tak terpisahkan.

“Sifat, karakter dan nilai moderatisme itu punya nilai akar sejarah yang panjang di Indonesia. Karena itu ketika Islam masuk ke Indonesia, masuk dengan damai dan bisa dengan mudah diterima dan juga terhubung dengan nilai-nilai moderatisme dan toleransi yang telah ada sebelumnya,” ujarnya.

Karena, menurut Prof Hossein, ketika membahas moderatisme yang bisa digali dari berbagai ajaran Islam dari Al Quran, maka pada saat yang sama juga bisa didapatkan dari nilai-nilai yang telah diyakini oleh bangsa Indonesia, maka dia membentuk nilai dan model yang baru.

“Boleh jadi di banyak tempat para pemuda menggunakan kata yang kemudian menjadi terkenal itu (moderatisme) dan itu ada di mana-mana tapi banyak yang tidak mendalami dari konten yang terkandung dalam kata tersebut,” katanya.  

Karena itu, katanya, seharusnya kita terus menggali secara serius asal kata moderatisme, akarnya darimana, dan bagaimana kata moderat itu ada di dalam ajaran Al Quran. Begitu pula dalam nilai-nilai sosial dan hal lain sehingga ketika moderatisme menjadi sebuah sikap kehidupan yang bisa dipahami dengan sebaik-baiknya dan bisa diamalkan.

“Begitu pula dengan kata Pancasila, kiranya para mahasiswa dan dosen punya pengetahuan cukup tentang hal itu namun tidak demikian dengan masyarakat awam. Karena itu menjadi tugas para mahasiswa dan dosen untuk menggali lebih dalam Pancasila secara akademik, filosofi dalam sila-sila Pancasila untuk memahami maknanya secara mendalam,” imbuhnya.

Rawat Toleransi dengan Pola Komunikasi

Sementara itu, Prof Magnis menjelaskan tentang konsep intoleran. Menurutnya, intoleransi terdiri dari 2 bentuk yaitu intoleransi biasa dan intoleransi agama.

“Intoleransi biasa merupakan sifat alamiah manusia dalam memandang perbedaan sedangkan intoleransi  agama merupakan sikap intoleran yang didasari oleh ajaran agama,” ujarnya.

Bagi Romo Magnis, sapaan akrab Franz Magnis-Suseno, keragaman agama bisa menjadi berkah sekaligus bencana.

“Kondisi toleransi dan komunikasi antar umat beragama di Indonesia sudah berjalan dengan baik, hal ini mesti dirawat secara terus-menerus dengan menjaga pola komunikasi, seperti saling menghormati, saling berempati dan menempatkan agama sebagai rahmat. Contoh terbaik ialah pertemuan dan dialog Imam Besar Ahmed al Tayeb dengan Paus Fransiskus,” paparnya.

Lebih lanjut, Romo Magnis menegaskan bahwa toleransi bukan pluralisme agama, sebab pluralisme melahirkan relativisme. “Sebaiknya, kita sadari saja perbedaan agama-agama,” ujarnya.

Sementara itu Prof. Abdul Hadi memaparkan pengalaman dan praktik-praktik toleransi yang telah mandarah-daging dalam berbagai tradisi di nusantara.

“Sungguh pun perilaku-perilaku intoleran atau kekerasan terjadi, hal itu bukan disebabkan oleh ajaran agama, melainkan didorong oleh faktor politik. Sebagai contoh ekspansi kerajaan Mataram Islam ke kerajaan Madura yang notabene-nya sesama muslim,” ujarnya.

Abdul Hadi juga menjelaskan bahwa identitas agama hadir sebagai gerakan yang radikal sebagai konsekuensi dan respon terhadap kolonialisme Belanda.

Seminar yang berlangsung selama 3 jam ini diselenggarakan secara hybrid (daring dan luring) yang dihadiri kalangan civitas akademika Universitas Paramadina dan STAI Sadra serta masyarakat umum lainnya. Para peserta sangat antusias mengajukan  berbagai pertanyaan dan mengikuti diskusi hingga akhir seminar. ***