Radikalisme Generasi Muda Sangat Mengkhawatirkan, Perlu Penanganan Serius

oleh -
Kampanye tolak radikalisme dan terorisme. (Foto: Liputan6.com)

JAKARTA-Perilaku radikal pada generasi muda saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Pengamat terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan, radikalisme pada generasi muda itu antara lain dipengaruhi oleh kemajuan teknologi internet yang mendorong mereka memperoleh informasi secara lebih bebas, cepat, bahkan tanpa batasan.

Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang disampaikan pada Forum Bela Negara Alumni UI (BARA UI), di Jakarta Selatan, Sabtu (22/7/2017) lalu menyebutkan bahwa pelaku teroris terbesar berpendidikan SMA yakni 63,3 persen, perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi 5,5 persen, dan SD 3,6 persen.

Berdasarkan umur, pelaku teroris terbanyak usia 21-30 tahun yakni 47,3 persen, disusul usia 31-40 tahun 29,1 persen. Sedangkan, usia di atas 40 tahun dan di bawah 21 tahun masing-masing 11,8 persen. Mengacu pada data tersebut maka pelaku teroris didominasi oleh generasi muda dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat.

Hasil survei lainnya yang dilakukan Wahid Foundation dan disampaikan pada acara “Bhineka Indonesia: Modal Sosial Bernegara”, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis (16/2/2017) menyebutkan lebih dari 60 persen aktivis rohis siap jihad.

Demikian juga survei terhadap 1.626 responden peserta Perkemahan Rohis “Membangun Generasi Emas Ramah dan Bermartabat” Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian agama RI pada 2-6 Mei di Cibubur, Jakarta Timur, lalu cukup mengejutkan. Survei tersebut menemukan bahwa 37 persen responden sangat setuju dan 41 persen responden setuju umat Islam bergabung dalam satu kesatuan kekhalifahan.

Stanislaus mengatakan, munculnya aksi-aksi teror lone wolf di Indonesia karena pengaruh informasi yang mudah diakses melalui internet, sudah terjadi.

Dia menyebutkan teror lone wolf di Indonesia pada dua tahun terakhir ini antara lain pada teror bom Gereja di Medan (28/08/2016), penyerangan polisi di Cikokol  (20/10/2016), penyerangan Markas Polda Sumatera Utara (25/06/2017), penyerangan terhadap anggota Brimob di Masjid Falatehan (30/06/2017) merupakan aksi-asksi teror individual yang dipengaruhi oleh informasi dari internet,” ujarnya di Jakarta, Rabu (8/11/2017).

“Fakta-fakta di atas, yang menyebutkan bahwa generasi muda banyak yang setuju dengan gerakan radikal, pelaku teror sebagai implikasi dari paham radikal banyak dilakukan oleh generasi muda, dan internet menjadi salah satu media yang mempengaruhi orang untuk melakukan teror, cukup memprihatinkan dan perlu ditangani dengan serius,” urainya.

Mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini mengatakan, informasi dari internet dan aksi-aksi teror di berbagai negara bisa menginspirasi kelompok radikal di dalam negeri untuk melakukan hal yang sama. Apalagi teror-teror yang terjadi saat ini dilakukan dengan alat-alat yang sederhana tetapi mematikan, seperti menggunakan kendaraan.

“Radikalisme, dalam hal ini dipertegas dengan gerakan politik untuk mengganti ideologi bangsa, harus ditangani secara komprehensif dengan melibatkan masyarakat sipil Indonesia, pemerintah dari level terendah (desa) hingga pemerintah pusat dengan melibatkan kementerian atau badan negara yang relevan,” ujarnya.

Untuk itu, penyebaran aliran-aliran atau paham yang tidak tepat, walaupun dengan kemasan agama, kata Stanislaus, harus dideteksi dan dicegah sejak dini. Kementerian Agama bersama dengan lembaga lain seperti Kepolisian, Badan Intelijen Negara dan Pemerintah Daerah harus bersinergi untuk mendeteksi dan mencegah paham radikal menyebar dan masuk ke masyarakat.

Pencegahan tersebut, katanya, bisa menggunakan strategi kontra radikalisasi. Strategi ini merupakan usaha untuk melawan paham radikal yang dilakukan sebagai benteng terhadap masuknya paham radikal. Salah satu cara melakukan kontra radikalisasi adalah menguatkan rasa nasionalisme dan budaya timur lain seperti gotong royong, tenggang rasa, dan saling menghormati antar pemeluk agama.

Jika paham radikal sudah menyebar, maka deradikalisasi harus segera dilakukan dengan cepat, tanpa menghakimi agama yang dianutnya. Hal ini, kata Stanislaus, dilakukan agar tidak menimbulkan salah persepsi bahwa pemerintah memusuhi agama.

Deradikalisasi, menurut Stanislaus, sebaiknya dilakukan dengan bantuan orang yang dipercaya oleh penganut paham radikal. Jika tidak ada orang terdekat seperti keluarga, maka deradikalisasi sebaiknya dilakukan oleh lingkungan terdekat. Hal ini agar orang yang akan dikembalikan paham radikal tersebut tetap merasa tidak dimusuhi dan dikucilkan oleh lingkungan terdekatnya.

“Jika keluarga dan lingkungan aktif bekerja sama mau menerima dan menyadarkan kembali agar orang tersebut tidak radikal, maka proses deradikalisasi akan lebih cepat karena orang tersebut tidak merasa dibuang, diasingkan, atau dimusuhi, tetapi bersama-sama keluarga dan masyarakat diajak untuk kembali tidak radikal,” ujarnya.

Pemerintah bersama masyarakat juga perlu menggalakan perilaku hidup damai dalam ujaran atau perkataan maupun dalam tindakan. Jika kesadaran hidup damai menjadi keutamaan dalam norma masyarakat, maka hal ini bisa menjadi penangkal dari narasi-narasi radikal yang semakin gencar dan viral, baik secara langsung di masyarakar maupun melalui media.

“Ketegasan pemerintah selaku penyelenggara negara untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap penyebar narasi radikal menjadi ujung tombak bagi pencegahan masyarakat terutama generasi muda terkena paham radikal,” pungkasnya.