Uskup Suharyo: Keuskupan Jakarta Tidak Berpolitik Praktis

oleh -
Uskup Keuskupan Agung DKI Jakarta (KAJ) Mgr. Ignatius Suharyo

JAKARTA-Uskup Keuskupan Agung DKI Jakarta (KAJ) Mgr. Ignatius Suharyo berharap di tahun politik ini keberadaan tiga pilar yakni negara, ekonomi dan masyarakat dapat berjalan beriringan.

Bukan hanya sekedar menyinggung permasalahan siapa yang terpilih menjadi kepala daerah.

“Saya pikir pemerintah sudah mengatakan itu. Tetapi bagi saya yang namanya tahun politik jangan cuman ngomong siapa yang gubernur, walikota, anggota DPR jadi pemimpin. Negara akan semakin beragam apabila negaranya menjalankan fungsi yang paling dasar, tetapi bukan hanya negara, bisnis juga harus, masyarakat juga,” ujarnya disela-sela acara dialog kebangsaan dalam rangka membangun persatuan bangsa dengan mengangkat tema “Amalkan Pancasila: Kita Bhineka, Kita Indonesia” di Aula Gereja St. Perawan Maria Di Angkat Ke Surga Katedral. Jalan Katedral, Jakarta Pusat, Sabtu (6/1).

Uskup Suharyo pun mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk selalu mengingat tonggak-tonggak sejarah dalam menghadapi tantangan-tantangan yang saat ini tengah menimpa khususnya permasalahan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

“Mari merawat ingatan kita bersama, ada Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, Proklamasi, adalah tonggak-tonggak sejarah yang menunjukan kita ingin menjadi satu bangsa, satu Tanah Air. Kalau itu dirawat pasti kita bisa menghadapi tantangan apapun. Moga-moga dengan merawat ingatan bersama kita bisa maju menjadi bangsa yang dicita-citakan di dalam UUD 1945,” tutupnya.

Dia menegaskan, Keuskupan Jakarta tidak berpolitik praktis. Keuskupan sebagai institusi agama ingin tetap pada koridor keagamaan. “Keuskupan Jakarta berpendapat keadaban publik itu ditopang tiga pilar: negara, bisnis dan rakyat,” terangnya.

Lebih lanjut, Uskup Suharyo menuturkan sila-sila Pancasila merupakan bagian dari ideologi bangsa. Oleh sebab itu setiap pandangan diterjemahkan menjadi gagasan-gagasan yang kongkrit, yang kemudian membangun orientasi yang konsisten.

“Yang tidak akan jadi apa-apa kalau tidak diterjemahkan menjadi gagasan-gagasan yang kongkrit. Nah, dari ideologi diterjemahkan menjadi gagasan-gagasan, diterjemahkan menjadi gerakan dan diharapkan gerakan yang dibangun akan membangun habitus artinya orientasi yang konsisten,” paparnya.

Kemudian, dirinya memaparkan untuk tahun ketiga terkait persatuan bangsa diberikan penanda yakni lambang Bunda Maria, bunda segala suku yang mana dalam penanda itu pada dada Bunda Maria ada lambang Garuda Pancasila, kemudian selubung yang dikenakan berwarna merah putih dan di atas mahkota ada gambar nusantara.

“Di dunia tidak ada. Dengan cara itu kami berharap umat Khatolik sungguh-sungguh berusaha untuk menjadi warga negara yang baik berdasarkan inspirasi dari umat Khatolik itu,” sebut Uskup Suharyo.