Meneropong Politik Identitas 2019

oleh -

Oleh: Benny Sabdo

Menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, penyebaran ujaran kebencian, propaganda politik dan kampanye hitam melalui dunia maya akan menjadi alat untuk meraih kekuasaan. Menjelang 2018 dan 2019, Indonesia akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung. Selama itu, radikalisme dalam bentuk ujaran kebencian bercampur dengan propaganda politik dan kampanye hitam akan digunakan sebagai alat meraih kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu.

Beberapa waktu belakangan, isu suku, agama dan ras (SARA) kembali menguat seiring dengan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 di sejumlah daerah, khususnya pilkada di DKI Jakarta. Politisasi agama dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan perebutan kekuasaan. Akibatnya, polarisasi di tengah masyarakat menjadi tak terhindarkan.

Harus diakui, pilkada telah menciptakan jarak baru kita sebagai warga negara, antartetangga, bahkan dalam keluarga. Perpecahan antarkelompok masyarakat menjadi buah yang harus dipetik dari pertarungan politik identitas. Menurut kolega penulis di Respublica Political Institute (RPI) Sa’duddin Sabilurrasad, tidak dapat dipungkiri politisasi agama kental terasa, terutama pada masa Pilkada DKI 2017 lalu. Pada prinsipnya agama memang, terutama dalam pilkada DKI kemarin, dijadikan komoditas politik yang paling kuat.

Ia menjelaskan, fenomena isu agama dijadikan komoditas politik karena ada dua preferensi politik identitas yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Mereka cenderung memilih pemimpin berdasarkan kesamaan identitas, yakni kesamaan suku atau agama. Politik identitas dianggap sah saja dilakukan. Namun, hal itu menjadi berbahaya saat politik identitas, khususnya terkait agama, mengekslusi keyakinan yang lain. Tatkala politisi menggunakan politik identitas itu biasanya tidak memiliki rekam jejak kinerja yang baik. Perlu dicatat!

Polarisasi seperti itu terlalu keras terjadi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang majemuk. Terlalu mahal harga yang harus dibayar demi sekadar mencapai kepentingan kekuasaan. Sementara, bangsa Indonesia sendiri memiliki sejarah yang buruk terkait konflik sosial berbau suku, agama dan ras.

Di sisi lain, persoalan intoleransi berlabel agama masih menjadi problem kebangsaan yang harus menjadi perhatian kelompok-kelompok moderat bangsa Indonesia. Beragam aksi yang merongrong Pancasila ramai bermunculan. Demonstrasi berlabel agama, dugaan makar, kekerasan kelompok intoleran, memburuknya kondisi pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan hingga terorisme.

Ancaman perpecahan bangsa menjadi isu sentral yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Tentunya mencari jalan keluar dari persoalan itu tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, khususnya para generasi muda, generasi milenial yang kelak akan menjadi pemimpin di NKRI.

Pengejawantahan nilai-nilai Pancasila menjadi penting bagi para anak bangsa untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan keberagaman. Pancasila dapat mengungkapkan tekad bangsa Indonesia yang majemuk untuk saling menerima karena lima silanya itu, lima nilai dasar, cita-cita dan norma-norma dasar yang dimiliki bersama oleh bangsa Indonesia. Lima sila Pancasila berakar dalam kekayaan budaya-budaya Indonesia.

Pancasila tidak dimaksud sebagai dasar suatu negara zaman Majapahit, tetapi sebagai dasar suatu negara yang semodern-modernnya. Indonesia yang mau dibangun para pendiri bangsa adalah bangsa yang tak kalah modernnya dengan negara-negara lain di dunia.

Oleh karena itu lima, sila Pancasila wajib – dan memang justru sangat cocok untuk – mendukung etika politik modern, modern dalam arti: etika masyarakat pasca-tradisional . Ternyata lima sila Pancasila sangat cocok untuk mendukung keyakinan-keyakinan paling dasar etika pasca tradisional.

Bung Karno dalam pidato spontannya di depan BPUPKI pada 1 Juni 1945 menyebut Pancasila dengan dasar-dasar antara lain: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan. “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Upaya merawat kebhinnekaan diperlukan untuk mencegah perpecahan dan polarisasi masyarakat. Tidak dipungkiri politisasi agama memberikan dampak destruktif  terhadap tatanan sosial masyarakat. Bahkan sejumlah analis memprediksi politisasi agama akan terus terjadi hingga pemilu presiden 2019, jika masyarakat tidak diedukasi.

 

Penulis adalah Dewan Redaksi Jendela Nasional