Pemerintah Dinilai Tepat Berikan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres

oleh -
Peraih Bintang Jasa Utama, Eurico Guterres. (Foto: Tempo.co)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pemerintah menjelang Hari Kemerdekaan pada Kamis lalu (12/8/2021) menganugerahkan para warganya berbagai penghargaan berupa Bintang.

Salah satu penerima Bintang tersebut adalah Eurico Guterres yang memperoleh Bintang Jasa Utama.

Rektor Universitas Jenderal A Yani, Hikmahanto Juwana menegaskan bahwa pemberian penghargaan pemerintah sudah tepat meski ada pendapat yang kontra di masyarakat dengan alasan Eurico Gutteres melakukan pelanggaran HAM Berat pasca jajak pendapat di Timor Timur.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) itu menyebutkan ada 4 alasan mengapa pemerintah tepat dalam memberi penghargaan kepada Eurico Guterres.

“Pertama, Eurico Guterres pada tahun 2008 telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung berdasarkan peninjauan kembali atas tuduhan melakukan pelanggaran HAM Berat di Timor Timur,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (14/8).

Kedua, perlu dipahami konsep pelanggaran HAM berat dalam situasi konflik bersenjata.

Hikmahanto menyebutkan ada 4 pelanggaran HAM Berat yang masuk kategori Kejahatan Internasional yaitu pelanggaran terhadap kemanusian, genosida, kejahatan perang dan perang agresi.

Di Indonesia berdasarkan UU Pengadilan HAM hanya ada dua pelanggaran HAM Berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.

“Berdasarkan hal tersebut pelanggaran HAM Berat bukanlah situasi yang menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang sangat berat. Pelanggaran HAM Berat (gross violations of human rights) merupakan terminologi khusus suatu kejahatan internasional, disamping bajak laut,” katanya.

Ketiga, pelanggaran Berat HAM dalam situasi konflik bersenjata akan dikaitkan dengan pihak yang kalah dan pihak yang menang dalam konflik tersebut.

Para petinggi militer Jepang dan Jerman dikenakan vonis pelanggaran HAM Berat karena mereka kalah dalam Perang Dunia II.

Padahal pengambil keputusan dan tentara AS, utamanya dengan penjatuhan Bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima, berpotensi didakwa melakukan pelanggaran HAM Berat.

Namun karena AS dan sekutunya menang dalam Perang Dunia II maka pengambil kebijakan dan prajurit terbebas dari dakwaan dan vonis Pelanggaran HAM Berat.

Karena itu, menurutnya, seandainya pasca jajak pendapat Timor Timur Pro Otonomi keluar sebagai pemenang  bukan Pro Kemerdekaan, maka Eurico Gutteres sudah sejak lama mendapatkan Bintang Jasa Utama.

Para petinggi militer dan sipil yang ketika itu bertugas di Timor Timur pun, katanya, tidak akan mendapatkan tunduhan pelanggaran HAM Berat. Justru mereka akan dianugerahi pangkat satu tingkat lebih tinggi.

Terakhir, Eurico Gutteres pantas memperoleh Bintang Jasa Utama karena dalam perspektif Indonesia segala daya upaya dan usaha yang dilakukan oleh Eurico Gutteres adalah untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari NKRI.

“Tentu ini akan menjadi hal sebaliknya bagi tokoh Timor Timur seperti Xanana Gusmao yang pernah divonis sebagai pemberontak di Indonesia namun diganjar dengan penghargaan sebagai pahlawan kemerdekaan oleh Negara Timor Leste,” katanya.

Karena itu, kata Hikmahanto, kritik bisa datang bagi kedua tokoh ini baik di dalam maupun luar negeri. Namun penghargaan suatu negara kepada warga negaranya yang telah memberikan pengorbanan tidak boleh dinafikan atau ditiadakan semata-mata karena negara tersebut kalah dalam perang atau konflik bersenjata.

“Di Jepang meski para petinggi militer pasca Perang Dunia II divonis dan dihukum mati, para pejabat Jepang tetap memberi penghormatan dengan mengunjungi makam mereka di Yasukuni Shrine ditengah kritik dari masyarakat Jepang maupun negara-negara yang mengalami penindasan oleh Jepang,” pungkasnya. (*)