Anwar Nasution: Sri Mulyani Lebih Banyak Menadah Utang ke Luar Negeri

oleh -
Anwar Nasution, (Foto: Ist))

JAKARTA- Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution memberikan sindiran kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri yang hanya bermodalkan batok kelapa.

Sindiran tersebut dia lontarkan saat menghadiri peluncuran laporan perekonomian Indonesia 2017 yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Komentar pedas tersebut Anwar sampaikan karena Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, lebih banyak menadah utang asing dengan melakukan roadshow ke luar negeri.

“Menteri Keuangan itu Sri Mulyani modalnya cuma batok kelapa pergi ke seluruh dunia,” kata Anwar, di Kompleks Perkantoran BI, Jakarta Pusat, Rabu (28/3/2018).

Hal ini, kata Anwar, terlihat dari kepemilikan surat utang yang banyak dipegang oleh asing. Sementara kepemilikan domestik atau investor dalam negeri dirasa kurang dan diharapkan porsi investor dalam negeri bisa terus meningkat di masa-masa mendatang.

Sindiran tersebut juga diperkuat dengan rendahnya tax ratio yang saat ini masih ada di batas 11 persen. Komisaris Bank Muamalat ini berpendapat seharusnya perbaikan tax ratio lebih difokuskan agar Indonesia tak terlalu banyak mengandalkan utang.

“Surat Utang Negara (SUN) dijual ke asing, lalu dari sisi pajak sudah 73 tahun merdeka tax ratio hanya 11 persen. Seharusnya ini yang mesti kita perbaiki,” jelas mantan Ketua BPK ini.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan utang yang dilakukan sangat hati-hati dengan melihat kondisi perekonomian terkini. Ia berharap semua pihak perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang membuat masyarakat menjadi tidak produktif.

“Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun,” tegas Ani, sapaan akrabnya.

Dalam hal ini, Ani menegaskan, utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian. Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan.

Misalnya, tambahnya, sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara.

Hasil revaluasi aset 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017.

“Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang,” katanya.