Industri Smelter Suntik Investasi USD3 Miliar di Awal 2018

oleh -
Peleburan baja. (Foto: jurnalasia.com).

JAKARTA – Kementerian Perindustrian terus memacu masuknya investasi sektor industri smelter di dalam negeri. Langkah ini merupakan implementasi dari kebijakan hilirisasi industri yang membawa efek berantai pada perekonomian nasional, mulai peningkatan nilai tambah bahan baku dan penyerapan tenaga kerja lokal hingga penerimaan devisa hasil ekspor.

“Pada awal tahun 2018, terdapat tambahan investasi sekitar USD3 miliar dari industri smelter, baik itu yang melakukan ekspansi maupun investasi baru. Tentunya ini bisa mendongkrak pertumbuhan industri logam atau industri kita secara nasional tahun ini,” kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Harjanto di Jakarta, Selasa (30/1).

Harjanto merinci, total penanaman modal di sektor industri pengolahan dan pemurnian logam tersebut terdiri dari investasi PT Fajar Bhakti Nusantara di Gebe, Papua Barat untuk pabrik nickel pig iron yang mencapai USD350 juta. Kemudian, perusahaan asal Tiongkok, Virtue Dragon berinvestasi di Konawe, Sulawesi Tenggara untuk pabrik ferronickel senilai USD2,5 miliar. Keduanya melakukan ekspansi atau perluasan pabrik.

Sedangkan, PT Kalimantan Surya Kencana menggelontorkan dananya untuk pabrik pengolahan tembaga sebesar USD135 juta. Saat ini perusahaan masih dalam tahap studi, dan ditargetkan akhir 2018 akan selesai pembangunannya.

“Investasi baru ini juga akan menambah kapasitas produksi nasional sekaligus meningkatkan ekspor produk yang dihasilkan industri smelter tersebut,” ungkapnya.

Harjanto meyakini, dengan harga komoditas seperti batubara dan feronikel yang semakin membaik, akan mendorong pertumbuhan industri smelter di Indonesia. “Apalagi ekonomi dunia juga mulai baik,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan pula Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso, pelaku industri smelter nasional optimistis dalam menjalani tahun 2018.

“Kami perkirakan prospeknya masih bagus. Kalau Menteri Perindustrian-nya yakin dan Dirjen-nya mengerti permasalahan, tinggal pembicaraan di lintas Kemenko Perekonomian,” tuturnya.

Prihadi menambahkan, industri smelter di dalam negeri berkaitan dengan kondisi ekonomi dunia, di mana konsumen global di kawasan Eropa diprediksi akan meningkatkan permintaannya. “Negara-negara di Eropa, kecuali Inggris yang masih belum bisa ditebak, mengalami peningkatan. Ekonomi dunia juga diprediksi akan membaik. Ini sangat bagus,” paparnya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, Kemenperin fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri, salah satunya di sektor logam. Indonesia tengah menargetkan produksi 10 juta ton baja pada tahun 2025. Di samping itu, akan menghasilkan stainless steel sebanyak empat juta ton pada 2019,” ungkapnya.

Menurut Menperin, pembangunan pabrik smelter di dalam negeri berjalan cukup baik, terutama yang berbasis logam. Apalagi, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri smelter berbasis logam karena termasuk dari 10 besar negara di dunia dengan cadangan bauksit, nikel, dan tembaga yang melimpah.

Untuk pengembangan industri berbasis mineral logam khususnya pengolahan bahan baku bijih nikel, saat ini difokuskan di kawasan timur Indonesia. Misalnya, di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah, Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan dan Kawasan Industri Konawe, Sulawesi Tenggara.

 

34 Proyek Smelter

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Harjanto mengungkapkan, hingga tahun 2017 terdapat 34 proyek industri smelter dengan total investasi mencapai Rp752,62 triliun. Industri smelter ini terdiri dari pengolah bijih besi, bijih nikel, bijih bauksit, konsentrat tembaga, stainless steel, dan aluminium.

“Dari 34 proyek smelter tersebut, mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 30 ribu orang,” ujarnya. Menurut Harjanto, untuk terus mendorong investasi di sektor industri smelter, perlu dukungan dalam ketersediaan bahan baku. Hal ini sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri.

“Jadi, harus ada kebijakan yang mendukung hilirisasi dan peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri. Karena kalau tidak, pelaku usaha akan lebih memilih untuk ekspor bahan baku kita daripada benar-benar membangun fasilitas pengolahan mineral,” paparnya.

Di samping itu, lanjut Harjanto, diperlukan harmonisasi penerbitan izin usaha serta pola dan tata cara pembinaan industri smelter. Untuk itu, Kementerian Perindustrian berupaya mengurai permasalahan dualisme perizinan yang masih dikeluhkan pelaku industri smelter di Tanah Air.

“Dualisme perizinan ini membingungkan investor. Makanya kami akan berupaya mencarikan solusinya,” tegasnya. Harjanto pun menyampaikan, izin usaha untuk kegiatan industri pengolahan dan pemurnian mineral logam berupa Izin Usaha Industri (IUI) dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus Pengolahan Pemurnian (IUP OP Pengolahan Pemurnian) membawa ketidakpastian iklim investasi.

Menurutnya, beberapa industri smelter diwajibkan memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), padahal mereka hanya melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, serta tidak memiliki lahan tambang. “Nah, mereka akhirnya memaksakan untuk membuat IUP itu,” tukas Harjanto.

Oleh karenanya, Kemenperin meminta Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) untuk mendata perusahaan dan permasalahan terkait secara terperinci. Setelah itu, lanjut Harjanto, pihak Kemenperin akan membahasnya ditingkat Kemenko Perekonomian untuk mecarikan solusi yang tepat. “Setelah data resminya kami terima, akan kami bahas di tingkat Kemenko,” tuturnya.

Kemenperin mencatat, kapasitas smelter secara total per tahun, yaitu smelter besi mencapai 7,6 juta ton (3 juta ton Krakatau Posco dan 1,2 juta ton Krakatau Steel di Cilegon serta 3 juta ton Dexin Steel di Morowali).

Kemudian, refinery alumina 2,3 juta ton (1 juta ton refinery Well Harvest Alumina Refinery, 300 ribu ton Indonesia Chemical Alumina dan 1 juta ton refinery JV/joint venture antara PT. ANTAM dengan PT. INALUM) dan smelter aluminium 1 juta ton. Selanjutnya, smelter nikel 4,6 juta ton dan smelter stainless steel slab 2 juta ton, serta smelter tembaga 303 ribu ton.