Rizal Ramli: Ekonomi Indonesia di 2018 Bisa Tumbuh 6,5 Persen

oleh -
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Kabinet Kerja, Rizal Ramli. (Foto: ist)

JAKARTA -Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen. Namun, sejumlah kalangan pesimistis bahwa pemerintahan saat ini bisa mencapai angka tersebut.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves misalnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018 sebesar 5,3%. Sedangkan sepanjang tahun 2017, pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi hanya mencapai 5,1%.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada Tony Prasetiantono juga memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun depan mencapai 5,3%. “Menurut saya 5,2% tahun ini mungkin akan meleset. Tapi tahun depan akan ada kemungkinan naik ke 5,3%,” ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/11/2017).

Senada dengan itu, Mantan Menko Perekonomian era Gus Dur Rizal Ramli juga memprediksi hal yang sama. Bahkan, mantan Menko Kemaritiman ini memproyeksikan angka yang lebih rendah, yaitu sebesar 5 persen.

“Jangan bermimpi pertumbuhan ekonomi kita lebih tinggi lagi di tengah kebijakan pengetatan ekonomi seperti yang dilakukan saat ini,” ujarnya di Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Mantan Menteri Keuangan ini mengatakan, pertumbuhan ekonomi bisa dipacu lebih tinggi, bahkan bisa mencapai 6,5 persen jika pemerintah melakukan terobosan, yang disebutnya sebagai “growth story”.

“Pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi lagi. Caranya harus bikin growth story yaitu cara inovatif. Jadi jangan melakukan pengetatan keuangan, tetapi malah harus diperlonggar,” ujarnya.

Growth story yang dimaksud Rizal Ramli itu terbukti ampuh. Pendiri Econit Advisory ini misalnya berhasil menyelamatkan PLN dari ancaman kebangkrutan tanpa melakukan utang.

Ada sejumlah terobosan yang ditawarkan Rizal Ramli untuk memacu pertumbuhan ekonomi 2018.

Pertama, memperlonggar anggaran atau belanja pemerintah. Menurut Rizal, di tengah perlambatan ekonomi, pengetatan anggaran merupakan kebijakan yang tidak tepat. Pengetatan belanja akan membuat ekonomi stagnan. Apalagi, kebijakan tersebut terbukti gagal di sejumlah negara seperti Yunani.

Kedua, memompa fiskal dengan menggunakan dana non-APBN. Rizal Ramli mengatakan, mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo dalam memacu pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa dengan menggunakan dana APBN. Namun, infratruktur di Pulau Jawa harus menggunakan dana di luar APBN. Kebutuhan dana tersebut, katanya, bisa diambil melalui kebijakan revaluasi aset BUMN. Dalam hitungannya, revaluasi bisa meningkatkan aset BUMN menjadi 2500 triliun, sehingga bisa mendapatkan dana pinjaman sebesar US$100 milar.

Ketiga, memompa bisnis ritel dengan cara meningkatkan kredit. Rizal Ramli  menargetkan pertumbuhan kredit harus mencapai 15-17 persen sehingga bisa menggerakkan roda perekonmian rakyat.

Untuk meningkatkan pertumbuhan kredit, Rizal Ramli mengambil kisah sukses yang dilakukan PT Permodalan Nasional Madani (PNM Persero) yaitu melalui Mekaar. Program ini berhasil menggaet 2 juta nasabah dengan pinjaman modal antara Rp2-3 juta. Karena itu, dia berharap agar pemerintah menambah modal usaha kelompok tersebut dari Rp1,3 triliun menjadi Rp5 triliun. “Dengan modal sebesar itu, para ibu yang bisa terjangkau bisa mencapai 60 juta orang,” ujarnya.

Selama ini, kata Rizal Ramli, mayoritas kredit menjangkau golongan perusahaan besar yaitu mencapai 73 persen. Sebesar 17 persen menjangkau perusahaan skala menengah dan skala kecil, dan sisanya baru golongan kelas menengah ke bawah. “Kenapa pola ini tidak digeser (lebih banyak untuk golongan kelas menengah ke bawah),” ujarnya.

Karena itu, menurutnya, ekonomi Indonesia harus menggunakan pendekatan struktural, yaitu melihat struktur di tengah masyarakat baru mengelurkan kebijakan.

Keempat, mengganti impor dengan sistem tarif, dan bukan sistem kuota. Hal itu, katanya, bisa mengurangi kartel yang menyebabkan tingginya harga barang impor.

 

Berani Lakukan Terobosan

Mantan Kepala Bulog ini mengatakan, saat ini tidak bisa lagi menggunakan pendekatan biasa-biasa saja, tetapi harus menggunakan terobosan. Karena itu, dibutuhkan pemimpin yang berani melakukan terobosan dalam mengambil kebijakan.

Keberanian melakukan terobosan itulah yang menyebabkan sejumlah negara tetangga mencapai pendapatan yang jauh lebih tinggi dari Indonesia. Pendapatan Korea misalnya mencapai 10 kali lipat, Taiwan 7 kali lipat, bahkan Malaysia yang mencapai 4 kali lipat. Padahal, puluhan tahun lalu pendapatan negara itu sama dengan Indonesia. “Jadi, Indonesia tertinggal bukan hanya karena korupsi, tetapi juga karena kita tidak berani mengambil risiko,” katanya.

Rizal mencontohkan Jepang, sehabis Perang Dunia Kedua, bisa mencapai pertumbuhan sebesar 13 persen selama 20 tahun. Hal itu karena negara tersebut tidak menggunakan model pembangunan Bank Dunia.

Salah satu sektor yang harus menjadi perhatian ke depan, kata Rizal, yaitu pariwisata. Pasalnya, penerimaan pariwisata menunjukkan peningkatan signifikan dan mampu mengalahkan migas. Bukan tidak mungkin, pariwisata akan mengalahkan komoditas sawit yang saat ini masih berada di posisi pamungkas.

“Pariwisata ini job creator, pencipta lapangan kerja. Jadi kita baru bisa memacu pertumbuhan ekonomi dengan growth story,” pungkasnya.