Kompor dari Pelet Kayu, Tak Berasap, Cepat dan Murah

oleh -
Warga Desa Pada Asih, Kampung Cipancuh, RT 11 RW 05 menggunakan kompor dari bahan pelet kayu. (Foto: Ist)

Subang, JENDELANASIONAL.ID — Ati Rohaeti, bersama empat warga Desa Pada Asih, Kampung Cipancuh, Kelurahan Padaasih, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang lainnya, mengaku sangat senang ketika mendengarkan sosialisasi penggunaan wood pellet (pelet kayu) sebagai bahan bakar untuk memasak di rumah tangga.

Ati, warga Desa Pada Asih, Kampung Cipancuh, RT 11 RW 05 itu mengaku bahwa sudah sebulan ini keluarganya kesulitan untuk memasak karena kayu bakar yang digunakannya basah dan perlu waktu lama untuk memasak.

“Sore ini saya langsung pakai kompor ini untuk masak nasi dan air. Senang sekali. Rumah jadi ndak berasap kalau masak, dan juga cepat. Saya akan masakin anak sebelum berangkat sekolah, biasanya kalau pakai kayu bakar saya masak setelah mengantar anak ke sekolah,” kata Ati ketika ditemui pada Sabtu (25/01/2020), seperti dikutip dari siaran pers.

Ia pun mengaku bahwa tabung LPG 3 kg yang dimilikinya sudah dijual beberapa waktu yang lalu karena tekanan ekonomi. Sudah sebulan lebih keluarganya terpaksa harus meluangkan waktu minimal 3 jam dalam seminggu untuk mencari kayu bakar guna memenuhi kebutuhan bahan bakar memasak selama seminggu.

“Terpaksa saya jual tabung LPG-nya, karena harganya per tabung sekarang Rp 25.000, dan sebulan saya pake 2 tabung. Udah ndak kuat beli, jadi saya pakai kayu bakar. Tapi repot kalau musim hujan begini. Terima kasih ada bantuan kompor pelet kayu ini, pabriknya juga dekat, dan mudah-mudahan nanti ada bantuan untuk beli pelet kayunya,” kata Ati.

Menanggapi harapan warga desa Pada Asih tersebut, Direktur PT Gemilang MS, Dwi Sariningtyas yang mengelola pabrik pelet kayu di lokasi tersebut menyampaikan bahwa pihaknya siap mendukung program pemanfaatan EBT tersebut.

Secara keekonomian, harga pelet kayu untuk ekspor berkisar US$ 100 – 200 per ton, sedangkan harga keekonomian di gudang pabrik untuk keperluan domestik dibanderol sekitar Rp 1.500 sampai Rp 1.700 per kg tergantung pada jenis bahan bakunya, sedangkan harga di konsumen berkisar antara Rp 2.000 sampai Rp 2.500 per kg bergantung pada jarak transportasi, desain dan penyediaan burner / tungku berikut instalasinya serta jasa pemeliharaan dan sparepart.

“Kami siap untuk mendukung program ini. Selama ini kami memang mendedikasikan produksi pelet kayu untuk memenuhi kebutuhan konsumen lokal, sama sekali ndak ekspor walaupun ada beberapa permintaan dan tawaran untuk ekspor. Konsumen kami saat ini adalah industri pembuatan tahu, keripik, pabrik genteng, budidaya jamur, minyak atsiri dan bahkan pengeringan gabah dan pengolahan logam rakyat. Untuk IKM tersebut, kami menyuplai dalam bentuk paket desain dan penyediaan burner/tungku, mengantar pelet kayu sampai ke lokasi berikut pemeliharaan burner/tungku dan pemeliharaan berkala. Pokoknya konsumen tahu beres,” kata Sari, demikian Dwi Sariningtyas biasa disapa.

 

Program Rintisan

Uji coba penggunaan EBT (Energi Baru Terbarukan) Biomassa dalam bentuk pelet kayu merupakan program rintisan PT Energy Management Indonesia (Persero).

“Ini adalah bentuk rintisan dari salah satu program kerja EMI, namanya program Multiple Household-Fuel Options, yaitu pengembangan dan penyediaan pellet kayu sebagai energi alternatif untuk rumah tangga dan industri kecil,” kata Dirut PT EMI (Persero) Andreas Widodo.

Dijelaskannya, uji coba pellet kayu untuk memasak di rumah tangga merupakan rintisan program Multiple Household-Fuel Options. Diterangkan juga bahwa program ini adalah upaya EMI sebagai BUMN EBTKE (Energi Baru Terbarukan Dan Konversi Energi) untuk mendorong pemanfaatan biomassa yang bersumber dari sumber-sumber lokal (setempat) dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi bersih bagi masyarakat.

Selain uji coba penggunaan pelet kayu untuk rumah tangga, serangkaian kegiatan mendorong Energi Baru Terbarukan tersebut juga dilakukan site visit ke Pembangkit Listrik Mini Hydro (PLTMH) di Kampung Sindang Cai, Desa Jambalaer, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang.

Hadir dalam rangkaian kegiatan tersebut Halim Kalla, Wakil Ketua Umum Bidang EBT dan Lingkungan Hidup Kadin, didampingi Miranti Serad, Wakil Ketua Komisi Tetap Pengelolaan Lingkungan Bersih dan Pemanfaatan Limbah Kadin Energi Baru Terbarukan, dan Antonius Aris Sudjatmiko, Direktur Operasi dan Pengembangan PT EMI (Persero), serta Dwi Sariningtyas, Direktur PT GMS.

Sangat Pas

Usai menyaksikan uji coba kompor berbahan bakar pelet kayu, Halim Kalla menilai kompor berbahan bakar pelet kayu sangat pas diterapkan di kampung seperti di Desa Pada Asih tersebut. Sebab masih banyak penduduk di sekitar pabrik pelet kayu yang menggunakan kayu dan tungku tradisional untuk memasak. Dengan menggunakan kompor berbahan pelet kayu akan sangat membantu mereka.

“Jika selama ini menggunakan kayu mereka menghisap asap C02 dari pembakaran kayu. Dengan pelet kayu mereka terbebas dari asap C02,” katanya.

Selain untuk masyarakat kecil yang masih menggunakan kayu bakar dan tungku, menurut Halim, pelet kayu cocok digunakan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) seperti pabrik tahu misalnya.

“Yang memasak secara terus-menerus berkesinambungan, seperti pabrik tahu, atau warung makan yang frekuensi memasaknya cukup tinggi, itu sangat cocok. Jadi lebih signifikan penghematannya,” kata Halim Kalla.

Menurut Halim, baik UKM maupun masyarakat bawah ini pun berlokasi tak jauh dari lokasi pabrik pelet kayu. Jadi masyarakat kategori miskin benar-benar menikmati manfaat pelet kayu ini. Oleh karena itu ia mendorong PT EMI maupun PT GMS memproduksi kompor pelet kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa di sekitar pabrik.

Sementara untuk pabrik pelet, seperti yang dikelola PT GMS, Halim mengingatkan perlu dipikirkan ketersedian suplai bahan bakunya. PT GMS harus memiliki sumber bahan baku pelet kayu yang berkesinambungan.

“Yang dikhawatirkan pengguna pellet jika sudah berlangganan apakah suplainya konstan, tiba-tiba perlu ternyata stok gak ada, kan usaha jadi terganggu. Di sini harus ada jaminan ketersediaan pelet kayu. Maka sebaiknya di dekat pabrik pelet kayu juga ada pabrik pemotongan kayu misalnya. Jadi ada kepastian pasokan bahan baku atau dedaknya,” jelasnya. (Ryman)