Macron Diprotes Karena Pertontonkan Islamophobia

oleh -
Warga berkumpul di luar basilika Notre-Dame, Nice, berdoa untuk korban. (Foto: BBCIndonesia)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Presiden Prancis Emmanuel Macron sedang menjadi pembicaraan publik dunia. Macron diprotes karena kata-katanya yang dinilai menghina umat Islam. Buntut dari kata-katanya tersebut, memunculkan pembunuhan yang terjadi di sebuah gereja di Prancis, tepatnya di Nice. Tiga meninggal dunia dalam kejadian yang sangat tragis tersebut.

Desakan muncul agar Presiden Macron meminta maaf atas pernyataannya tersebut.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana misalnya meminta Presiden Joko Widodo agar menelepon Presiden Macron agar bersedia meminta maaf kepada dunia islam.

“Presiden Jokowi yang memiliki kedekatan dengan Presiden Macron perlu melakukan kontak langsung melalui tilpun agar dapat menghentikan rangkaian kekerasan mengerikan di masa datang demi kemanusiaan,” ujar Hikmahanto di Jakarta, Sabtu.

Selain itu, tokoh pergerakan Indonesia Rizal Ramli juga ikut bersuara. Dia mengatakan, pemimpin dunia yang bijaksana seharusnya memiliki pemahaman bahwa kebebasan itu ada batasnya.

“Pemimpin-pemimpin dunia yang bijaksana, paham bahwa kebebasan ada batasnya, yaitu tidak boleh menghina agama karena faith adalah soal keyakinan, bukan hanya rasionalitas. Di Negara Pancasila, tidak boleh ada phobia, baik terhadap Islam, Kristen, Budha, Hindu dan agama apapun,” ujar Rizal Ramli melalui Twitter pribadinya, @RamliRizal, yang diunggah pada Minggu (1/11).

Mantan Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur ini mengatakan, banyak protes terhadap Macron karena dia mempertontonkan islam-phobia.

“Banyak yang protes  kepada Presiden Prancis Macron karena mempertontonkan Islam-Phobia. Macron memang harus menentukan batas kebebasan (Liberte, Egalite, Fraternite) dan faith. Anehnya yang protest malah dibiarkan, klo tidak dibilang, pelihara Islam-Phobia — wes wolak-walik,” ujar Rizal Ramli.

Mantan Menko Kemaritiman ini mengatakan, Pancasila tidak menghendaki phobia terhadap agama-agama.

“Jika kita mengakui Panca-Sila, tidak boleh phobi terhadap agama apapun, Islam, Kristen, Katolik, Budhism dll. Kalau phobia, otak-atik soal faith, Indonesia bisa berubah jadi Lebanon. Dulu damai & makmur, ‘Paris dan Middle East’. Dikocok soal Agama jadi rusuh terus, makin miskin,” ujar Rizal Ramli.

Sebelumnya, Hikmahanto mengatakan, kekerasan pendirian Presiden Macron terkait hak berekspresi, yang didukung oleh mayoritas penduduk Prancis yang dipertentangkan dengan kecintaan umat muslim terhadap Nabi Muhammad SAW, dapat berujung pada tragedi kemanusiaan.

Tragedi kemanusian dapat terjadi mengingat pemerintah dimanapun tidak akan mampu untuk membendung tindakan pribadi yang dilakukan oleh warganya terhadap hal yang berbau Prancis, seperti halnya di Prancis sendiri.

Karena itu, Presiden Jokowi dalam konteks pertemanan dapat menyarankan agar Presiden Macron menarik pernyataannya dan meminta maaf kepada umat muslim.

Bagi Presiden Jokowi yang akrab dengan Presiden Macron sebagaimana terlihat di KTT-20 2017 lalu menyampaikan saran tersebut merupakan hal yang wajar. Ini mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar sehingga sangat memahami perasaan umat muslim.

Pendekatan Presiden Jokowi ini tentu berbeda dengan Presiden Turki, Erdogan. Bila Erdogan menggunakan hard approach terhadap Presiden Prancis yang sudah dipastikan tidak akan efektif, namun pendekatan Presiden Jokowi merupakan soft approach.

“Sekali lagi apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah demi kemanusiaan, bukan karena mewakili negara muslim. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia telah melakukan kecaman dan protes dengan dipanggilnya Dubes Prancis di Indonesia oleh Kementerian Luar Negeri,” ujar Hikmahanto. (Ryman)