RUU Penyiaran Jangan Dipaksakan

oleh -

Oleh: Emrus Sihombing   

Proses legislasi RUU Penyiaran tampaknya akan dipaksakan. Salah satu Wakil Ketua DPR  menegaskan, DPR akan tetap meparipurnakan RUU Penyiaran meski Badan Legislasi tidak melakukan rapat pleno.

Padahal, persoalan substantif dalam isi RUU Penyiaran tersebut belum tuntas.

Persoalan substantif tersebut menyangkut pengelolaan frekuensi dengan Single Mux (SM) yang sarat dengan kelemahan. Bahkan Wakil Ketua DPR tersebut seolah sudah mengklaim bahwa mayoritas fraksi telah sepakat memilih SM sebagai operator siaran digital.

Menurut kajian Lembaga EmrusCorner (LEC), Single Mux (SM) sebagai operator siaran digital menemukan setidaknya ada delapan kelemahan.

Pertama, berpotensi menjadi alat kekuasaan oleh suatu rezim pemerintahan dengan mengendalikan infrastruktur frekuesi penyiaran. Ini sangat kontradiktif dengan semangat demokrasi sebagai hasil perjuangan gerakan reformasi.

Kedua, penyelenggaraan layanan multipleksing penyiaran digital yang mengelola frekuensi dan infrastruktur digital dalam suatu konsorsium tunggal. Ini bisa menimbulkan perilaku benar sendiri. Penyelenggara siaran diposisikan hanya “manut” saja. Tentu ini merugikan rakyat karena sulit mendapat program acara yang bermutu.

Ketiga, mux operator menyewakan kanalnya kepada kepada lembaga penyiaran dan content provider yang eksisting. Dengan demikian hubungan antara pengelola operator dengan lembaga penyiaran dipastikan tidak setara.

Keempat, sangat berpotensi menciptakan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat karena terjadi posisi dominan karena menguasai seluruh proses produksi penyiaran (frekuensi dan infrastruktur) yang dapat membatasi ruang gerak lembaga penyiaran.

Kelima, harus membangun infrastruktur digital baru yang dapat melayani seluruh lembaga penyiaran melalui pembiayaan APBN atau pinjaman luar negeri. Ini sangat tidak tepat waktu di tengah negeri ini masih mengandalkan pinjaman luar negeri dalam APBN.

Keenam, seluruh frekuensi dikelola secara terpusat dengan menggunakan sistem Multi Frequency Networks (MFN). Ini sangat tidak baik dalam upaya kita semua untuk menyajikan siaran yang bermutu.

Ketujuh, bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia karena pengelolaan teknologi frekuensi secara sentralistik.

Kedelapan, sangat tidak adaptif  menghadapi perkembangan teknologi penyiaran televisi masa depan yang pesat karena setiap  penyediaan teknologi baru memerlukan dana melalui mekanisme APBN atau pinjaman luar negeri yang sarat dengan kepentingan politik ketergantungan dan biaya birokrasi yang tidak sedikit.

Itu semua tidak perlu terjadi bila mana ada kesadaran politik teman-teman di DPR bahwa lembaga penyiaran yang eksisting terus menggunakan frekuensi miliknya yang saat ini digunakan untuk melakukan siaran digital dengan menggunakan Single Frequency Networks.

Selain itu, meparipurnakan RUU Penyiaran tanpa melalui rapat pleno di Badan Legislasi berpotensi menabrak tiga peraturan terkait yaitu (1) UU tentang Tatacara Penyusunan UU, (2) UU MD 3 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan (3) Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner di Jakarta