Sketsa Hukum Pemilu Indonesia

oleh -
Benny Sabdo. (Foto: Ist)

Oleh Benny Sabdo*)

JENDELANASIONAL.ID – Mengapa sketsa? Dalam sebuah karya seni, sketsa adalah goresan gambar yang belum selesai. Sebuah sketsa memiliki tujuan, merekam sesuatu yang dilihat oleh seniman. Hukum pemilu merupakan horison baru dalam ilmu hukum Indonesia. Belum banyak kajian yang menyelidiki tentang hukum pemilu. Secara konseptual pemikiran hukum pemilu masih minimalis. Karena itu, upaya membentangkan kajian hukum pemilu di Indonesia sangat ditunggu oleh para sidang pembaca.

Saya kebetulan menggeluti ilmu hukum tata negara. Hukum tata negara itu unik dibandingkan dengan bidang hukum lain. Mendiskusikan hukum dalam konteks tatanan konstitusional bernegara tidak akan terlepas dari politik. Menurut J. Barents, hubungan hukum tata negara dengan ilmu politik itu seperti tulang dengan daging, saling mengisi dan menopang satu sama lain. Selanjutnya, secara idiologis saya dekat dengan pemikir hukum Profesor Sri Soemantri, yang mendekati kajian hukum tata negara dalam perspektif politik. Masalah konstitusi bukan sekadar bernuansa hukum, melainkan tidak terlepas dari pertarungan kepentingan politik.

Eksistensi Bawaslu sebagai penegak hukum pemilu merupakan langkah maju dalam proses demokrasi di Indonesia. Bawaslu kini berperan sebagai penegak hukum pemilu. Bawaslu dapat memeriksa perkara pelanggaran administratif pemilu, sengketa proses pemilu dan pidana pemilu. Dengan demikian, putusan Bawaslu dapat merefleksikan keadilan pemilu. Pendekatan sejarah perlu dilakukan untuk menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan tentang hukum pemilu di Indonesia. Pendekatan sejarah hukum sangat diperlukan manakala saya ingin menyingkap latar belakang filosofis hukum, yang kini sedang digeluti.

Tonggak penting sejarah eksistensi Bawaslu dimulai adanya perubahan penting yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, yaitu pemisahan Bawaslu sebagai organ pengawas dari KPU sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 yang merupakan judicial review atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya konstruksi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan, Bawaslu merupakan subordinat daripada KPU. Pada ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tidak disebutkan Bawaslu merupakan penyelenggara pemilu yang berbeda.

Problematika yang muncul dari pengaturan yang demikian adalah apakah suatu pengawasan yang dilakukan terhadap diri sendiri dikatakan efektif. Selanjutnya, apakah hasil pengawasan dapat dikatakan kredibel dan akuntabel. Mengingat yang diawasi adalah lembaga induknya. Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo menafsirkan frasa “suatu komisi pemilihan umum” dalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidaklah merujuk pada satu lembaga, tetapi pada fungsinya sehingga menurut Mahkamah Konstitusi, Bawaslu adalah setara dengan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Konstruksi inilah kemudian yang dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, yang disebut sebagai penyelenggara pemilu adalah KPU, Bawaslu dan DKPP.

Selanjutnya, lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu semakin memperkuat kedudukan dan kewenangan Bawaslu. Bawaslu semakin progresif dengan beberapa kebijakan baru. Ada dua poin penting dalam desain penegakan hukum pemilu, yaitu: Pertama, adanya pengaturan tentang sanksi administratif berupa diskualifikasi sebagai perserta pemilu. Apabila seorang calon legislatif atau pasangan calon presiden dan wakil presiden melakukan pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif. Ketentuan ini belum diatur pada pemilu 2014. Ketentuan ini lahir karena dorongan semangat untuk memberikan efek jera terhadap siapa saja yang melakukan politik uang dalam pemilu.

Kedua, terjadinya peralihan kewenangan penyelesaian pelanggaran administratif yang pada awalnya menjadi kewenangan KPU. Kini beralih menjadi kewenangan Bawaslu. Dalam desain pemilu sebelumnya, penyelesaian pelanggaran administratif pemilu terlebih dulu diperiksa dan diuji oleh Bawaslu dan hasil pemeriksaan tersebut direkomendasikan kepada KPU untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan KPU. Namun pada pemilu 2019 kemarin, KPU tidak lagi memiliki kewenangan memutus sebuah pelanggaran administratif pemilu. Kewenangan penyelesaian pelanggaran administratif pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu, yakni memeriksa, menguji dan memutus sebuah dugaan pelanggaran administratif pemilu. KPU hanya memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu.

Selama empat kali pemilu, yaitu pemilu 1999, pemilu 2004, pemilu 2009 dan pemilu 2014 posisi Bawaslu hanya sekadar sebagai stempel atas keberadaan lembaga penyelenggara pemilu KPU. Dalam konteks penegakan hukum pemilu, fungsi dan wewenang Bawaslu hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada pihak lain atas temuan dan laporan pelanggaran yang terjadi selama tahapan pemilu. Sepanjang tahapan pemilu tersebut Bawaslu tidak memiliki fungsi eksekutorial atas temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilu, khususnya pelanggaran administratif pemilu. Karena kewenangan eksekutorial pelanggaran administratif pemilu berada di tangan KPU.

Dalam desain yang baru tersebut, pemeriksaan dan pengujian oleh Bawaslu harus ditempuh melalui persidangan dengan basis pemeriksaan bukti dan para pihak untuk mendapatkan sebuah putusan. Metode persidangan dengan model adjudikasi berlaku untuk perkara pelanggaran administratif pemilu dan sengketa proses pemilu. Dengan demikian, dugaan pelanggaran yang dilaporkan harus diklarifikasi dengan memanggil pelapor, terlapor yang melakukan dugaan pelanggaran, serta pemeriksaan para saksi, ahli dan alat bukti dokumen. Hasil dari pemeriksaan persidangan inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk putusan yang wajib dilaksanakan pihak-pihak terkait termasuk KPU.

Demikianlah sketsa hukum pemilu di Indonesia, sebuah goresan seni hukum yang belum selesai. Saya sadar harus bergegas untuk kembali bekerja, tahapan pemilu 2024 sudah dimulai. Untuk sementara tak bisa menukik lebih dalam.

*) Penulis adalah Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara; Pengajar Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta 2018 & Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia 2018