Sudah Ketinggalan Zaman, Dekan FH Parahyangan: UU HAM Harus Direvisi

oleh -
Pakar Hukum Hak Asasi Manusia, sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Liona Nanang Supriatna. (Foto: Ist)

Bandung, JENDELANASIONAL.ID – Desakan melakukan revisi terhadap Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara de facto menunjukkan bahwa undang-undang tersebut mendesak untuk diperbaharui. Hal tersebut agar sesuai dengan perkembangan pengaturan HAM yang telah berkembang pesat dalam forum internasional dan munculnya berbagai bentuk pelanggaran HAM yang kian bervariasi.

Hal itu disampaikan pakar Hukum Hak Asasi Manusia, sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Liona Nanang Supriatna, dalam acara Diskusi Pakar terhadap Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, di Kampus Ciumbuleuit 94 Bandung, Rabu (10/8).

Acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Badan Pembinaan Hukum Nasional serta Fakultas Hukum Unpar itu juga dihadiri oleh para dosen pengajar HAM FH Unpar antara lain, Adrianus Vito Ramon, Dyan Sitanggang dan Anna Anindita.

Menurut Liona, ada beberapa hal penting untuk diubah dan disempurnakan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

“Antara lain mendesaknya perluasan definisi dan atau pengaturan tentang diskriminasi yang lebih komprehensif, lebih luas jangkauannya guna menjamin kesejahteraan bagi kelompok rentan yang mencakup anak, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, pengaturan dan atau jaminan HAM terhadap kehidupan kaum transgender dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, termasuk keyakinan dan atau kepercayaan asli masyarakat adat,” ujarnya.

Liona mengatakan, seringkali masyarakat Hukum Adat tidak mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah, sementara masyarakat mengakuinya. Karena itu, Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab terhadap Pemerintah Daerah yang menolak memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang merupakan cikal bakal adanya bangsa Indonesia.

“Pengaturan tentang tindakan intoleransi dalam kehidupan sehari-hari, juga harus menjadi prioritas untuk diatur mengingat meningkatnya tindakan intoleransi sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta terganggunya penghormatan hak asasi manusia,” ujar Liona yang juga anggota Pakar DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (DPP ISKA).

Menurut Liona, yang juga President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) itu, asas-asas dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia harus secara tegas dan rinci diatur terlebih adanya ratifikasi perjanjian internasional tentang HAM setelah UU HAM lahir.

Penegasan asas-asas dasar HAM ini, katanya, penting secara eksplisit diatur mengingat dalam prakteknya pelanggaran-pelanggaran terjadi karena asas-asas dasar tidak secara tegas mengaturnya misalnya, asas-asas dasar dari kelompok minoritas yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam UU HAM.

Dia juga menyoroti secara tajam terkait masalah Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar. Setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing. Negara juga tidak bisa melarang aliran atau agama apapun yang diyakini dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sepanjang untuk kedamaian lahir bathin dan tidak bertentangan dengan hukum.

 

Konflik Pendirian Rumah Ibadah

Masalah lain yang paling krusial dalam HAM dan kebebasan dasar, menurutnya, adalah munculnya konflik pendirian rumah ibadah sekaligus juga merupakan kontroversi dalam kebebasan beragama. Secara prinsip, kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup hak untuk beribadah.

“Sayangnya, konflik pendirian rumah ibadah masih terjadi hingga saat ini. Salah satu konflik yang terjadi adalah penolakan dan pelarangan pendirian rumah ibadah,” ujarnya.

Karena itu, Liona mendesak Pemerintah agar menjamin tersedianya rumah ibadah bagi rakyatnya dan perijinan bukan merupakan suatu kendala bagi kebebasan dasar ini.

Kebebasan berpendapat juga seringkali dimaknai secara mutlak yang mengakibatkan kebebasan berpendapat yang tanpa batas. Perkembangan teknologi yang pesat saat ini mengalihkan tren menyampaikan pendapat melalui media tulis ke media sosial.

“Tanpa pengatarun secara jelas dan tegas, berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM pencemaran nama baik, dan merusak kebhinekaan dan pada akhirnya akan mendegradasi penghormatan HAM,” tegas Liona yang juga Penasihat Lawyers Social Indonesia (Lysoi).

Selanjutnya dia juga menyoroti kaidah hukum internasional, khususnya tentang Konvensi Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh negara  menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.

Diskusi ini, kata Dewan Pakar DPC Vox Point Bandung itu, seringkali terbatas pada teori Monisme dan Dualisme yang justru sudah usang.

Karena itu, muncul berbagai variasi pendekatan yang berkembang dalam masyarakat internasional. Pertama, adoption, yakni perjanjian internasional menjadi bagian dari sistem hukum internasional dengan jalan meratifikasi konvensi internasional dan kemudian diumumkan dalam Lembaran Negara tanpa ada tindakan legislasi lainnya karena sudah dianggap mengikat.

Kedua, incorporation, implementasi perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional tidak cukup hanya mengdopsi saja, namun harus ada tindakan legislasi lainnya misalnya membuat Undang Undang baru dimana substansi atau ketentuan-ketentuannya berasal dari perjanjian internasional tanpa perlu mengulang istilah yang sama dalam perjanjian iternasional.

Ketiga, transformation, ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tidak perlu diterima secara formal atau diatur dalam sistem hukum nasional seperti adaption dan incorporation, namun hukum nasional yang sudah eksis yang mengatur hal sama dengan hukum internasional maka hukum nasional harus diamandemen atau diubah dan diseusaikan substansinya dengan hukum internasional yang sudah diratifikasi.

“Keempat, reference, adalah istilah teknis bagaimana hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional dengan cara setiap pembentukan hukum nasional akan selalu merujuk ke dalam sistem hukum internasional,” pungkas Liona yang merupakan Alumni Lemhannas RI Angkatan 58 ini. ***