Hukuman Mati Untuk Pengedar Narkoba

oleh -
Anggota Fraksi Partai Nasdem DPR, Ahmad Sahroni

Oleh: Ahmad Sahroni

Pasti akan menuai reaksi pro kontra dari sejumlah kalangan. Reaksinya bisa lokal dan regional sebatas negeri ini, tapi juga mendunia. Itulah jika setiap pengedar narkoba dijatuhi hukuman berat yaitu hukuman mati. Atas nama “kedaulatan” hak azazi manusia (HAM) dan kedaulatan Tuhan (hanya Allah yang berhak mencabut nyawa seseorang), maka umat manusia manapun tak berhak menghukum mati.

Bisa dipahami logika kemanusiaan itu. Namun demikian, apakah para “reaktor” itu bisa berpikir jernih tentang dampak serius perilaku pengedar narkoba? Yang perlu disadari bukan persoalan aspek bisnis atau ekonomi dari dunia narkoba yang menjanjikan itu, tapi tingkat destruksi mental dan jasmani para pemakai narkoba yang sangat memprihatinkan. Para korban secara fisik sesungguhnya telah diperlakukan secara tidak manusiwi, kalau tidak dibilang biadab. Dan mereka menjadi pesakitan karena peran para pengedar. Kalangan pengedar, untuk level apapun harus kita catat sebagai ujung tombak kepentingan produsen narkoba.

Pernahkah para “reaktor” hukuman mati bagi pengedar narkoba berpikir tentang berapa banyak korban narkoba yang tak berdaya itu? Di manakah nurani para pengedar saat menyaksikan gelombang pesakitan narkoba itu?

Sangat boleh jadi, mereka tak memikirkannya. Jika arahnya masa bodoh dengan jumlah korban yang sangat menderita itu, maka kita layak mempertanyakan, agenda apakah yang sedang dibangun oleh kekuatan konspiratif antara produsen – pengedar narkoba? Bukanlah berlebihan jika muncul opini bahwa “penarkobaan” itu dalam kerangka memperlemah kekuatan suatu bangsa. Ini berarti, tercium jelas aroma kolonisasi, meski berjangka panjang. Inilah yang kita soroti tajam arah atau skenario disnasionalitas di balik gerakan penghancuran moral, mental dan fisik melalui pendistribusian massif obat terlarang itu.

Dengan analisis tersebut, maka kita selaku anak bangsa yang cinta negeri ini layak bersikap: pengedar narkoba, apalagi produsennya haruslah dijadikan musuh bersama (the common enemy). Dengan sikap sosial politik serta hukum yang tegas ini, maka sudah selayaknya seluruh jajaran negeri dari penyelenggara negara, aparatur keamanan dan penegak hukum untuk semua bidang (kepolisian, kejaksaan, pengadilan)  haruslah bersatu  padu untuk mengangkat senjata melawan kaum pengedar dan produsen narkoba, terutama yang berada di negeri ini. Perlu sinersigitas yang kuat antara kekuatan publik dan penyelenggara negara untuk menghadapi kekuatan mavia narkoba. Tidaklah berlebihan jika elemen publik di satu sisi dirancang sebagai informan dan karena itu perlu dipikrkan tentang reward tertentu seperti halnya pelapor tentang korupsi. Di sisi lain, aparat sebagai eksekutor segera menindaklanjuti informasi itu. Sinergisitas itu pasti powerful dan maksimal daya kerjanya. Sangat mungkin, jauh lebih efisien langkahnya.

Seperti kita ketahui, pergerakan  narkoba sudah sangat massif-sistimatis. Karena itu, partisipasi publik dalam hal penginformasian sungguh krusial maknanya. Di sisi lain, jajaran aparat penegak hukum (kepolisian) juga perlu redesign konsep dan langkah pengejaran para kriminal narkoba. Seperti kita ketahui, dalam satuan keposilian anti narkoba diberlakukan sistem “pemancingan”. Untuk mendapatkan sasaran, diperlukan dana taktis operasional untuk membeli narkoba. Sasarannya adalah menuju bandar narkoba. Dana taktis inilah yang harus dilakukan reformulasi, karena sistem yang ada harus keluarkan biaya sendiri bagi aparat pemburu sasaran itu, meski kemudian diganti (rembus). Dengan posisi gaji terbatas, maka secara asumtif ia atau mereka tak bisa leluasa bergerak untuk memancing. Inilah persoalan biaya pancing yang perlu didesain ulang.

Sekali lagi, Pemerintah telah memberikan rekomendasi kuat untuk menindak tegas dan berat kepada persoalan narkoba. Konsekuensinya, seluruh komponen negara harus bahu-membahu untuk memeranginya.  jika muncul oknum apalagi masyarakat biasa yang terlibat sebagai pengedar, maka hukuman berat dan atau diperberat merupakan opsi tindakan hukum yang harus dilakukan, tanpa diskriminasi dan tanpa tebang pilih. Tak ada kata toleransi terhadap pelaku kejahatan serius itu.

Dalam kaitan tindakan hukum tanpa diskriminasi, penegak hukum perlu tunjukkan keteladanan nyata dalam menindak kejahatan narkoba. Dalam hal ini ada kasus yang bisa djadikan sorotan utama. Sebagai ilustrasi faktual, Oktober lalu terjadi  peristiwa pencorengan di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akibat ulah oknumnya. Yaitu, Kepala Bidang Kabid Pendaftaran Ekstensifikasi Penilaian Dirjen Pajak kantor Wilayah Sulawesi tengah Utara, Tengah, Gorontalo dan Maluku Utara (Kanwil Suluttenggomalut), Wahyu Nugroho, ditangkap Polda Sulawesi Sulawesi Utara atas kepemilikan sekitar 30 gram sabu. Wahyu ditangkap tim Resmob Polda Sulut di kawasan Mall Manado. Wahyu digelandang ke Polda Sulut untuk menjalani pemeriksaan. Suatu tantangan, apakah Wahyu – karena posisinya sebagai sang pejabat itu akan ditindak dengan hukuman tegas dan berat? Jawabannya, tentu demi kepentingan keselamatan anak bangsa, maka harusnya tak ada toleransi atau tawar-menawar. Dengan bukti volume sabu yang begitu banyak itu, maka hukuman berat harus divoniskan bukan malah hukuman ringan yang divoniskan oleh lembaga penegak hukum.

Namun demikian, kelayakan ketentuan hukuman mati atau hukuman yang berat itu tetap melalui proses hukum yang fair. Proses hukum itu haus dijunjung tinggi. Bagaimanapun, seseorang yang tertangkap basah perlu diuji kebasahan perbuatannya. Jika ia dijebak atau terjebak, maka majelis hakim akan menilai jernih tentang riil dan tidaknya sebagai pengedar. Dalam kaitan pro yustisia ini pula, para aktivis hukum (pengacara atau advokat) perlu bersikap jernih dalam aksi pembelaannya. Janganlah berdalih atas nama profesionalisme, lalu sebisa mungkin memperjuangkan hak hukum pengedar narkoba. Barisan penegak hukum ini pun perlu bicara nuraninya. Mereka harus memperbandingkan dengan hak-hak para korban narkoba yang ternistakan itu.

Yang harus dicatat juga, ketika proses hukum para pengedar masuk ke ranah pengadilan pun tak boleh lengah dari pemantauan. Jangan sampai terjadi peringanan hukuman bagi pengedar. Juga, jangan sampai terjadi diskriminasi penindakan hukum bagi para pengedar. Catatan ini perlu sikapi serius karena di lapangan tercium aroma konspirasi penerapan hukuman bagi sang pengedar. Ada praktik diskriminasi antara oknum pejabat versus pengedar masyarakat biasa.

Pemantauan proses hukum itupun harus menjadi bagian intens dari semua pihak yang committed anti narkoba dengan penghukuman berat dan atau diperberat. Kita sadari, ketika sang pengedar berunsur asing, sering terjadi reaksi politik diplomatif. Menyadari tingkat bahaya narkoba yang sudah masuk ke seluruh relung Tanah Air ini, maka negara memang tak boleh gentar kepada negara lain yang salah satu warganegaranya terbukti merusak bahkan menghancurkan anak-bangsa kita ini. Jadi, hukuman mati bagi pengedar apalagi produsen adalah kebijakan yang tak layak surut. Dan fakta politik menunjukkan, reaksi sejumlah negara saat warganegaranya dieksekusi mati, hanya sesaat reaksinya. Tak sampai menimbulkan ketegangan bilateral. Sementara itu, kita tahu, kepentingan negara sahabat itu jauh lebih besar dibanding hanya melindungi satu atau beberapa nyawa yang memang telah terbukti menghancurkan bangsa lain.

Sikap politik tegas negara sugguh diperlukan. Jangka pendeknya adalah menciptakan shock therapy kepada publik. Agar menimbulkan efek jera, atau timbul rasa takut jika ingin hadir dalam panggung narkoba. Jangka panjangnya untuk menyelamatkan anak bangsa sebagai generasi yang berhak hidup sehat dan berkualitas. Yang harus disadari kita semua dari berbagai komponen bangsa. Indonesia sudah menjadi pangsa pasar dalam pengedaran narkoba. Bahkan pengedarannya pun sudah tersistem dan teroganisir sedemikian rupa. Akhirnya, semua itu menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia dan semua pihak bahwa pemberantasan narkoba jangan hanya terfokus pada tindakan represif semata. Tetapi juga upaya preventif tetap harus dilakukan secara intensif.

 

Penulis adalah  Anggota DPR RI Komisi III Fraksi Partai NasDem