Bawaslu: Jangan Berkompromi dengan Kejahatan Demokrasi

oleh -
Benny Sabdo (kiri) menerima penghargaan penulis buku ilmiah dari Dekan Fakultas Hukum UI Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH di Kampus Program Pascarsarjana Fakultas Hukum UI, Salemba, Jakarta Pusat, pada 16 Agustus 2017.
Benny Sabdo (kiri) menerima penghargaan penulis buku ilmiah dari Dekan Fakultas Hukum UI Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH di Kampus Program Pascarsarjana Fakultas Hukum UI, Salemba, Jakarta Pusat, pada 16 Agustus 2017.

Jakarta – Analis Hukum Pemilu Benny Sabdo memberikan apresiasi kapada Bawaslu yang telah melakukan terobosan “Patroli Pengawasan” di masa tenang pilkada serentak 2018. Ia mengatakan Bawaslu sebagai penegak hukum pemilu sudah semestinya membuat terobosan yang lebih progresif.

“Untuk mewujudkan keadilan pemilu, Bawaslu memiliki peran kunci. Supaya tidak disebut macan kertas, segala kewenangan yang diberikan oleh undang-undang harus diwujudkan secara konkrit,” tegasnya.

Ia menandaskan Bawaslu sebagai penegak hukum pemilu memegang peranan kunci untuk menjamin pilkada yang taat asas dan tidak menyimpang dengan norma dasar yang menjadi fondasi utamanya.

Menurutnya, penegakan hukum pemilu bertujuan untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam proses pilkada, sekaligus untuk melindungi integritas pilkada. Karena itu, jajaran Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota ke bawah harus memiliki mental seorang pengawas, tidak cukup hanya paham regulasi.

“Kalau ada dugaan pelanggaran, maka Bawaslu/Panwas harus berani menindak. Meski berisiko, jangan pernah berkompromi pada pelaku kejahatan demokrasi,” gugatnya.

Lebih lanjut, Pengajar Hukum Tata Negara Kampus Merah-Putih Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta itu memaparkan Bawaslu saat ini memiliki Pengawas TPS. Menurut UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, setiap Pengawas Kelurahan dapat dibantu satu orang Pengawas TPS di masing-masing TPS. Menurutnya, peran Pengawas TPS ini menjadi sangat strategis.

“Pengawas TPS dapat mengawasi persiapan pemungutan dan penghitungan suara, mengawasi pelaksaan pemungutan suara, termasuk menyampaikan keberatan dalam hal ditemukannya dugaan pelanggaran, kesalahan, dan/atau penyimpangan administrasi pemungutan dan penghitungan suara,” jelas Benny.

Benny menyampaikan ada masalah klasik setiap hajatan pilkada, antara lain politik uang, problematika daftar pemilih, mobilisasi pemilih, intimidasi pemilih, penyalahgunaan formulir C6 (surat pemberitahuan memilih), bahkan transaksi jual beli suara di tingkat penyelenggara pilkada. Karena itu, momentum masa tenang ini harus dilakukan pengawasan melekat oleh Bawaslu.

“Bawaslu harus dapat melakukan pencegahan terhadap segala problematika tersebut, lakukan sosialisasi kepada peserta pilkada dan masyarakat supaya tidak melakukan pelanggaran. Dan, berkoordinasi dengan jajaran KPU untuk mencegah terhadap pelbagai potensi pelanggaran pada hari pemungutan suara tanggal 27 Juni 2018 nanti,” pungkas alumnus Program Pascasajarna Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.