Merawat Komitmen Kebangsaan

oleh -
Logo-ISKA

Oleh Benny Sabdo
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Presidium Pusat ISKA 2017-2021

Salah satu tujuan berdirinya Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) adalah untuk mengawal Pancasila. Upaya merawat komitmen kebangsaan diperlukan untuk mencegah perpecahan dan polarisasi di tengah masyarakat. Tidak dipungkiri politisasi agama memberikan dampak destruktif terhadap tatanan sosial masyarakat.

Karena itu, pengejawantahan nilai-nilai Pancasila menjadi penting bagi para cendekiawan Katolik untuk Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa (tema Dies Natalis ke-60 Tahun ISKA).

Prinsip-prinsip itulah yang selalu menjadi perhatian ISKA sejak berdiri pada 22 Mei 1958. Merawat Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk komitmen berkebangsaan.

Pancasila telah menjadi dasar filsafat bagi negara kebangsaan Indonesia Raya. Sejarah membuktikan 72 tahun berdirinya Indonesia, Pancasila telah menunjukkan kedigdayaannya dalam mempertahankan NKRI.

Beragam aksi yang merongrong Pancasila menyeruak akhir-akhir ini. Demonstrasi berlabel agama, dugaan makar, kekerasan kelompok intoleran, memburuknya kondisi pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan hingga kejahatan terorisme.

Ancaman disintegrasi bangsa menjadi isu sentral yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Mencari jalan keluar dari persoalan ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum cendekiawan Katolik.

Dalam kepengurusan ISKA saat ini mengambil tema besar bertajuk Merawat Komitmen Kebangsaan. Tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan semakin amat berat. Semangat politik identitas semakin menguat dan mengancam demokrasi.

Kondisi ini diperparah dengan sebagian besar elit politik kita, termasuk politisi Katolik juga masih menjadi pemburu rente, sehingga melahirkan ketimpangan ekonomi.

ISKA bersama seluruh elemen bangsa siap bersinergi dalam rangka Merawat Komitmen Kebangsaan dengan cara mengamalkan Pancasila demi tegaknya NKRI yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kilas Balik

ISKA pada mulanya bernama Ikatan Katolik Sarjana dan Cendekiawan Indonesia, disingkat IKS. Nama Katolik Sarjana, bukan Sarjana Katolik, dimaksudkan, agar organisasi ini dapat pula menampung para sarjana dan cendekiawan bukan Katolik, yang menyetujui asas-asas Katolik.

Pelopor terbentuknya IKS adalah Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) bersama dengan Ikatan Muda Katolik Indonesia (IMKI). Ketika dideklarasikan, IKS masih bertaraf lokal Jakarta. Pengurus pertama IKS Lo Siang Hien (Ketua), A.M. Moeliono (Wakil Ketua) dan Liem Peng Liong (Sekretaris).

Kepengurusan Lo Siang Hien berlangsung selama dua tahun (1958-1960). Sejak itu Ketua ISKA silih berganti, yakni C. Sindhunatha (1960-1961); Que Sian Koen (1961-1963); Jakob Oetama (1963-1985); J. Riberu (1985-1991); Djoko Wiyono (1991-1997); Charles Mangun (1997-2000); A. Sandiwan Suharto (2000-2003); Paulus Harli (2003-2010); Muliawan Margadana (2010-2017), dan V. Hargo Mandirahardjo (2017-2021)

Pada tahun 1965 Presiden Soekarno meminta Partai Katolik agar membuat koran. Kemudian Frans Seda segera setelah itu mengontak Jakob Oetama (Ketua ISKA) dan P.K. Ojong (Sekretaris ISKA). Saat itu mereka sudah mengelola sebuah majalah Intisari.

Pada prinsipnya mereka berdua diminta untuk menangani koran yang kemudian bernama Kompas dan sejak terbit pertama sudah didedikasikan sebagai “Harian untuk Umum”.

Nama Kompas tersebut diberikan oleh Presiden Soekarno sendiri kepada Jakob Oetama dan P.K. Ojong. Selain itu, pengurus ISKA juga terlibat dalam membidani kelahiran Unika Atma Jaya Jakarta dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

ISKA juga menjadi anggota International of Catholic Movement for Intellectual and Cultural Affairs (ICMICA), yang merupakan wadah dari organisasi sarjana dan cendekiawan Katolik di seluruh dunia.

Selanjutnya, salah satu peran ISKA yang sangat menonjol dalam kancah politik nasional, yakni ketika pada tahun 1995 Djoko Wiyono sebagai Ketua ISKA menolak untuk ikut menandatangani kesepakatan pembentukan wadah tunggal cendekiawan bersama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan ikatan cendekiawan berbasis agama lainnya.