Waspadai Gelombang Kedua dan Ketiga Pandemi Covid-19

oleh -
Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak terkait dengan kebijakan apa pun di mana penulis bekerja. (Foto: Ist)

Oleh: Dr. Nugroho Agung Wijoyo*)

JENDELANASIONAL.ID — Sebagai langkah nyata  perlindungan sosial dan stimulus ekonomi menghadapi dampak Covid-19, pemerintah  dalam Konferensi Pers Kementerian Keuangan 17 April 2020 menyampaikan mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan dampak Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Namun demikian, menurut Ketua Umum Kadin Rosan Perkasa Roeslani, stimulus fiskal sebesar Rp405,1 triliun tersebut masih jauh dari ideal, karena jumlah tersebut masih belum menolong, terutama bagi warga miskin dan rentan miskin yang paling terdampak dari pandemik virus corona ini.  Menurut Roeslani, stimulus fiskal tersebut sedikitnya paling tidak memerlukan Rp1.600 triliun, yakni untuk program jaring pengaman sosial sebesar Rp600 triliun, dana kesehatan sebesar Rp400 triliun, dana finansial perbankan memerlukan dana sampai Rp600 triliun.

Stimulus fiskal sebesar Rp405,1 triliun atau setara dengan USD 26 miliar tersebut (2,6 persen dari GDP) dinilai masih terlalu kecil, terutama apabila dibandingkan dengan negara tetangga kita.   Beberapa perekonomian negara berkembang dan maju sudah  mengumumkan paket stimulus  fiskal sebesar kurang lebih 8,9-20  persen dari PDB. Berdasarkan rangkuman IMF (sampai 30 April 2020) terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap stimulus fiskal dari berbagai negara, misalnya Singapura mengeluarkan dana sebesar USD 45 miliar (13 persen dari GDP), bahkan Thailand sebesar USD 46 miliar (8,9 persen dari GDP) atau lebih besar sedikit bila dibandingkan dengan Malaysia sebesar USD 23 milyar (11 persen dari GDP) namun dengan prosentasi GDP yang lebih besar; atau apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat sebesar USD 2.3 triliun (11 persen dari GDP), Jepang sebesar USD 1.1 triliun (21.1 persen dari GDP), ataupun Australia sebesar USD 124.55 milyar (9,9 persen dari GDP).

Meskipun Roeslani mengestimasi sedikitnya dibutuhkan stimulus fiskal sebesar Rp1.600 triliun, namun sebenarnya tidaklah mudah untuk menghitung berapa besaran angka yang dinilai memadai tersebut. Paling tidak, Thorsten Beck (2020) mengakuinya dalam makalahnya yang berjudul “Finance in the time of Corona Virus”.

Berdasarkan Coronavirus disease 2019 (Covid-19) Situation Report – 92 per tanggal 2 Mei 2020, WHO melaporkan total kasus virus corona di seluruh dunia sebesar 3.424.356, dengan kasus baru terkonfirmasi bertambah sebesar 25.889 dan total meninggal sebesar 240.281 dengan total meninggal baru sebesar 933.  Dari sumber: www.covid19.go.id, update terakhir per tanggal  2 Mei 2020 pukul 21:00 WIB, di Indonesia telah terkonfirmasi sebesar 7.135 plus 375 kasus baru, dirawat 10.843, meninggal 831, sembuh 1.665. Ini menyangkut nyawa manusia, bukan sekedar angka statistik.

Mari kita lihat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, hingga pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, baik dilaksanakan dalam bentuk pembatasan jumlah orang maupun pengaturan jarak orang. Tidak terbatas kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi juga bakal dibatasi.

Dengan kebijakan PSBB yang diterapkan di beberapa daerah tentunya sangat mengganggu aktivitas ekonomi yang pada akhirnya akan mengakibatkan meningkatnya risiko gelombang kebangkrutan dan PHK masal.  Bahkan beberapa hari lalu ILO mengestimasi 1,56 miliar orang di dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh corona. Sedangkan berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja yang dirilis per tanggal, 1 Mei 2020 yang lalu menyebutkan bahwa jumlah pekerja yang di-PHK sebanyak 375.165 pekerja, dirumahkan sebanyak 1.32 juta pekerja, sedangkan sektor informal yang dirumahkan sebanyak 314.883 pekerja.

Melihat kenyataan tersebut, Chatib Basri pernah mengingatkan agar pemerintah mengalokasikan fiskalnya untuk program kesehatan, juga perlu memastikan adanya kecukupan dokter, kecukupan obat, kecukupan asuransi bagi penderita,  baru kemudian dilakukan demand management lagi melalui fiskal, yakni memastikan agar kelompok menengah bawah terpenuhi kebutuhan pokoknya, terutama memastikan pelaksanaan program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan non tunai (BPNT), hingga program pra-kerja, dapat berjalan dengan efektif.

Menurut Outlook Pembiayaan APBN 2020 dalam Kedaruratan COVID-19, dana tersebut berasal dari: 1)  Pembiayaan Non Utang Rp108,9 T, yaitu Penambahan pembiayaan akan memanfaatkan potensi yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), pos dana abadi  Pemerintah, dan dana yang bersumber dari BLU; dan 2) Pembiayaan Utang Rp654,5 T, yang akan dipenuhi dari: a) Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), baik di pasar  domestik dan global, b) Penarikan pinjaman, baik dari lembaga multilateral dan  bilateral, c) Penerbitan SBN termasuk SBN yang akan dibeli oleh Bank  Indonesia di pasar primer (primary market).  Di luar itu, Pemerintah akan mencari sumber-sumber pembiayaan utang dengan biaya yang relatif murah dengan risiko yang terkendali.

Selain daripada itu, Thorsten Beck (2020) merekomendasikan 3 hal agar pihak yang berwenang fokus pada: 1) kemungkinan gangguan operasional dalam sistem keuangan; 2) memperkuat kepercayaan di pasar keuangan dengan secara jelas mengisyaratkan bahwa mereka siap untuk melakukan intervensi; dan 3) mempersiapkan kemungkinan intervensi dan penyelesaian bank-bank yang gagal.

Mudah-mudahan stimulus fiskal tersebut yang diimplimentasikan dengan efektif akan mampu memberikan harapan bahwa pandemi global virus corona cepat berlalu.  Meski demikian, kita perlu mewaspadi adanya kemungkinan terjadi gelombang kedua dan ketiga pandemi Covid-19, terutama jika masyarakat dan pemerintah lalai saat terjadi penurunan jumlah kasus pasien terinfeksi virus corona.  Dan kalau hal ini terjadi, kita perlu menyiapkan dana tambahan yang lebih besar lagi. Untuk itu, diharapkan kita semua bekerjasama dalam menjalankan program pemerintah dengan sebaik-baiknya.

*) Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dan Ketua Bidang Ekonomi PP ISKA. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak terkait dengan kebijakan apa pun di mana penulis bekerja.