Festival Wai Humba VI: Kami Bukan Humba Yang Menuju Kemusnahan

oleh -
Adat Sumba

Oleh:Diminisator Wai Humba

Kegiatan Festival WAI HUMBA VI yang berlangsung di Kampung Tabera, Desa Doka Kaka, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dilaksanakan pada tanggal 1- 3 Desember 2017 dengan tema; DA ZUBA DA GA SAGAGE MOD’ DA DAMO (Kami Bukan Humba Yang Menuju Kemusnahan_red) memberikan pesan yang sangat dalam bagi masyarakat Sumba dan dunia. Kegiatan ini memberikan sebuah pencerahan kepada dunia bahwa sesungguhnya nilai-nilai budaya dan alam telah memberikan banyak pelajaran penting kepada kita (manusia) untuk terus hidup dan berkembang. Ada pun agenda dalam Festival Wai Humba VI diantaranya adalah Ikrar Persaudaraan, Pentas Seni Budaya se- Sumba, Penghijauan, Kalarat Wai, Diskusi Kampung Humba, Kunjungan Kampung-ke Kampung dan Penghargaan Wai dan Tana Humba.

Festival ini adalah yang ke 6 kali setelah sebelumnya  yang pertama di tanggal 29 oktober 2012 silam di Sungai Paponggu di kawasan pegunungan Tana Daru, Sumba Tengah; yang kedua di lereng gunung Yawilla, tepatnya di Umma Pande, desa Dikira Kabupaten Sumba Barat Daya; ketiga di Desa Ramuk, Sumba Timur; keempat di Paponggu, Tanadaru, Sumba Tengah; dan yang kelima di Kadahang, Haharu, Sumba Timur. Festival ini juga dikemas sebagai ibadah, pesta rakyat dan sebagai kampanye pelestarian lingkungan hidup di Humba/Sumba.

Festival Wai Humba adalah salah satu jembatan baru untuk mendekatkan kembali manusia dengan sang Pencipta dan alam sekitarnya. Seperti halnya dalam kegiatan ini konsep budaya dan lingkungan dipadukan dengan  pendekatan religius dimana salah satu yang menarik adalah ketika diadakannya ibadah alam yang dipimpin oleh tokoh agama setempat, kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk berdialog dengan budaya Humba dalam konteks meningkatkan perlindungan dan keberlanjutan alam dari kegiatan yang tidak ramah terhadap lingkungan dan budaya.

Festival Wai Humba VI menjadi momentum refleksi diri kita sendiri untuk bagaimana menghormati nilai budaya dan lingkungan, kita tidak menutup diri terhadap perubahan tetapi pada dasarnya perubahan itu harus juga mampu memanusisakan manusia secara baik. Kegiatan ini bertujuan untuk mengingatkan bahwa budaya dan lingkungan sangat erat kaitannya dengan tatanan kehidupan masyarakat khususnya masyarakat desa yang terus mendapatkan stigma “kampungan”.

Kearifan lokal masyarakat hari ini telah mampu menjawab berbagai tantangan sosial ekonomi dan lingkungan yang semakin hari semakin tidak terkendali akibat berbagai aktivitas manusia yang semakin hari juga semakin bertambah banyak. Kita patut bersyukur dengan apa yang telah dibangun oleh masyarakat saat ini dengan mengedepankan nilai lihur budaya untuk menjaga keseimbangan. Kegiatan festival Wai Humba VI selama tiga hari tentu memberikan pesan penting kepada masyarakat, dimana berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan ini semuanya melalui proses ritualisasi yang panjang.

Ikrar Persaudaraan

Dalam festival Wai Humba VI dibangun sebuah kesadaran bersama dengan Ikrar Persaudaraan. Ini menjadi pergumulan besar yang selama ini menjadi agenda besar bagaimana membentuk sebuah hubungan yang terhubung (tapanuag) baik di lihat dari sejarah, wilayah, kebudayaan dan karakter masyarakat. Dalam kegiatan ikrar persaudaraan di bangun pula sebuah komitmen bersama bahwa kita adalah satu kesatuan. Salah satu yang menarik ketika Rato (Puru Nombu) mengatakan Marapu menjadi landasan kokoh dalam kehidupan hidup masyrakat Sumba, oleh karena itu apapun yang terjadi kami tetap mempertahankannya.

Ikrar persaudaraan ini di tandai dengan semangat kekeluargaan dari berbagai suku yang ada di pulau Sumba untuk secara bersama-sama merawat budaya Humba.

Satu dari sekian banyak kegiatan yang jarang kita jumpai adalah ketika semua para Rato  dari kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya duduk bersama membentuk sebuah lingkaran untuk memberikan pandangan terkait dengan kegiatan Festival Wai Humba VI. Tema di atas menjadi kunci utama mengapa ikrar persaudaraan ini menjadi penting untuk diperkuat.

Kami Bukan Humba yang Menuju kemusnahan adalah sebuah penegasan kepada diri sendiri dan dunia bahwa hari ini kami masih ada dan terus ada untuk mempertahankan apa yang sudah diwariskan kepada kami sebagai generasi penerus. Tantangan lain yakni lahirnya mental pengkotak-kotakan berdasarkan daerah administrasi. Saat ini seringkali kita mendengar dengan mudahnya ada yang berkata, “kau kan orang Sumba Tengah, kau kan orang Sumba Barat, Orang Sumba Timur, Orang Sumba Barat Daya; buat apa kau disini !”. Kita lupa bahwa sesungguhnya kita berasal dari nenek moyang yang sama yakni apa yang kami sebut dengan Komunalitas Humba/Hubba. Harapannya, Festival ini sekiranya mampu menghilangkan sekat egoisme daerah administrasi.

Pentas Seni dan Budaya Se-Sumba

Pentas seni dan budaya menjadi bagian dari ciri khas masyarakat Humba yang tidak bisa terlepas dari nilai-nilai dan tradisinya. Pada kegiatan Festival Wai Humba VI yang menjadi nilai budaya dalam kegiatan ini adalah ketika masing-masing perwakilan wilayah memberikan tarian khas, dimana tarian ini memberikan pesan yang  sama kepada masyarakat Humba bahwa sesungguhnya budaya kita masih tetap terjaga dengan baik. Tarian ini memberikan pencerahan kepada kita, pertama yang ingin mereka sampaikan dalam wujud traian adalah sifat dan tatanan kehiduapan yang senantiasa dekat dengan alam dan leluhur dengan wujud inilah mereka memberikan ucapan syukur kepada sang Pencipta.

Suguhan tarian Humba tentu saja membuat kita sadar bahwa peghormatan terdap budaya dan alam menjadi simbol penghormatan kepada leluhur, ini tidak berdiri secara sendiri-sendiri, namun memiliki hubungan yang erat seperti tarian saat melakukan proses tanam, prose panen dan lain sebagainya. Ucapan syukur yang  dilakuan dalam konteks budaya masyarkat Humba seluruhnya menjadi pertanda bahwa “kita satu kesatuan yang utuh”

Selain itu juga dalam Festival Wai Humba VI disuguhkan drama musikal, cerita rakyat, permainan tradisonal (lomba gasing) dari berbagai komunitas masyarakat adat dan  pelajar di pulau Sumba, ini sebagai bentuk kontribusi generasi muda untuk tidak melupakan sejarah dan nilai budaya Sumba, serta memberikan pasan kepada masyarakat bahwa budaya Sumba bukan sekedar “topeng monyet”.

Pa Eri Wee atau Kalarat Wai (Pengkeramatan Sumber Mata Air)

Dalam konteks budaya Marapu Kalarat Wai merupakan proses ibadah untuk meminta restu kepada sang leluhur, ini dilakukan agar setiap kegitan berjalan dengan lancar dan baik tanpa ada halangan. Kalarat Wai dalam Festival Wai Humba ditandai dengan adanya dialog antara para Rato untuk memastikan tata cara pelaksanaan ritual sejalan dengan budaya. Dialog yang dilakukan oleh para Rato akan menghasilkan sebuah keputusan dengan melihat hati ayam dimana masing-masing Rato menterjemahkan hati ayam tersebut sesuai dengan konteks kegiatan apakah dilanjutkan atau tidak tergantung  dari hasil penglihatan secara ritual oleh para Rato.

Pada kegiatan Wai Humba kali ini hasil yang diterjemahkan oleh para Rato menunjukan ada dukungan leluhur sehingga kegiatan terus dilakukan sampai pada proses akhir. Kalarat Wai atau Pengkeramatan Air sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian alam terhadap sumber-sumber mata air yang selama ini mendapat ancaman serius.

Kalarat Wai merupakan aktivitas religus aliran kepercayaan Marapu dengan melakukan persembahan di sumber mata air, selain merupakan ibadah ucapan syukur, kegiatan ini sekaligus sebagai ibadah permohonan kepada sang pencipta agar senantiasa melimpahkan karunia air buat orang Humba. Samapi saat ini, masyarakat adat di kawasan tempat persembayangan masih mengkeramatkan/melarang aktivitas pengrusakan di tempat mata air. Air dipercaya bersumber dari keberadaan hutan yang terbentang luas membukus gunung di pulau Sumba.

Diskusi Kampung Humba

Diskusi kampung Humba merupakan bagian dari kegiatan Festival Wai Humba VI tahun ini, tujuan diskusi ini untuk menguatkan kapasitas masyarakat desa tentang budaya dan lingkungan. Di atas telah dijelaskan secara umum bagaimana budaya dan lingkungan menjadi satu kesatuan utuh bagi masyarakat Sumba. Pada kesempatan ini, diskusi dilakukan secara bersama dan di bagi dalam beberapa kelompok dengan topik yang berbeda-beda seperti topik perhutanan sosial, hak ulayat, Hukum dan Kebijakan pengakuan terhadap Marapu, perubahan iklim, dan lain sebagainya.  Hasil dikusi ini akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk bagaimana menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat adat.

Penguatan kapasitas masyarakat adat menjadi agenda besar kegiatan Wai Humba, tidak saja menyadarkan mereka soal budaya dan alam tetapi juga memberikan edukasi terkait dengan perkembangan yang ada saat ini.

Diskusi kampung Humba sekaligus untuk mematahkan stigma luar bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang tidak memiliki pendidikan yang baik atau “bodoh”. Untuk menjawab tantangan ini, Festival Wai Humba memberikan edukasi terkait masyarakat adat. Dialog budaya yang berlandas pada kesadaran bersama akan pentingnya nilai-nilai budaya dan alam sebagai sumber kehidupan masyarakat.

Dalam diskusi kampug Humba masyarakat adat juga di ajak untuk mengnjungi kampung-kampung tua di mana tersimpan banyak nilai dan sejarahnya, ini sebagai upaya Wai Humba untuk mengajak masyarakat desa mempertahankan keaslian kampung sehingga sejarah dan nilainya tidak luntur mengingat saat ini perkembangan semakin cepat mempengaruhi budaya. Mempertahankan kaslian kampung tentu saja ada hubungannya dengan alam, di mana masyarakat adat selalu mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan rumah adat. Saat ini banyak kampung yang sudah tidak lagi menggunakan bahan dari alam seperti atap yang sering kita lihat sudah menggunakan seng hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan sumber daya alam seperti alang-alang sebagai bahan utama yang hari ini semakin langka. Wai Humba melihat bahwa ini ancaman yang sangat serius ketika ketersediaan bahan di alam sudah tidak ada akibat dari adanya alih fungsi lahan di pulau Sumba.

Penghargaan Wai dan Tana Humba

Pada proses penghargaan malam Festival Wai Humba VI  merupakan bagian terpenting untuk mngajak masyarakat luas agar “melawan lupa” di mana melawan lupa memberikan makna bagi kita semua untuk mengingat perjungan tiga Umbu yang di penjara karena mempertahankan tanah leluhurnya dari aktivitas perusahaan tambang Minerba di pulau Sumba. Penghargaan Wai dan Tana Humba juga sebagai bentuk konsolidasi untuk membangun komitmen dan partisiapasi masyarakat Humba untuk merawat dan melindungi. Penghargaan ini sebagai wujud dedikasi mereka terhadap tanah Humba dimana demi martabat dan leluhur mereka mengorbankan diri dan kelurga untuk terus mempertahankan tanah.

Dedikasi dan loyalitas mereka terhadap tanah Humba tidak sebanding dengan penghargaan dalam Festival Wai Humba, namun yang sangat mendalam adalah ketika penghargaan ini melahirkan banyak pejunag-pejuang budaya dan lingkungan untuk terus bertumbuh dengan karakter yang kokoh dalam menghadapi tantangan global.

Penghargaan Wai Humba VI  ini diberikan kepada tokoh-tokoh pejuang lingkungan dan buday Humba. Proses Ini untuk memberikan pembelajaran bagi generasi muda Humba untuk merawat tanah dan air dari praktek-praktek penghancuran. Artinya ini merupakan refleksi perjuangan bukan festival wisata sebagaimana yang marak dilakukan di tanah Humba.

Sudah sepantasnya sebagai genarasi penerus Wai Humba terus mengingatkan perjuangan masyarakat menolak tambang masuk dan menghancurkan tanah Humba. Festival Wai Humba VI sengaja di gelar di Kampung Tabera desa Doka Kaka di mana memiliki gunung Pura Nobbu sebagai sumber kehidupan masyarakat.

Dari serangkaian kegiatan festival Wai Humba VI menghasilkan 10 butir rekomendasi kepada pemerintah dianataranya;

 

  1. Menjalankan putusan MK untuk menghormati dan melindungi penganut aliran kepercayaan Marapu di Sumba.
  2. Pemerintah melakukan Inventarisasi dan melindungi masyarakat adat, tanah ulayat dan hutan di Sumba serta membuat perda perlindungan masyarakat hukum adat.
  3. Menjadikan bahasa Humba menjadi salah satu mata pelajaran di semua sekolah di Sumba.
  4. Pemerintah harus mampu melindungi wilayah kelola rakyat dan merumuskan cagar budaya humba sehingga Sumba tidak kehilangan sejarah.
  5. Pemerintah tidak mengijinkan investasi pertambangan minerba dan investasi penghancuran daya dukung lingkungan dan kebudayaan orang Humba.
  6. Pemerintah melakukan langkah langkah percepatan untuk menjadikan Tanjung Hahar sebagai Cagar Budaya Humba berbasis kawasan.
  7. Pemerintah daerah harus membuat Perda Jasa Lingkungan sebagai bentuk untuk perlindungan kawasan konservasi alam dan penguatan ekonomi masyarakat di kawasan konservasi.
  8. Pemerintah dan pihak terkait segera menghentikan model pariwisata yang berbasis investor, Sumba membutuhkan pola pendekatan pariwisata berbasis kerakyatan.
  9. Pemerintah tidak menjalankan model pembangunan yang berpotensi menghilangkan wilayah produksi rakyat seperti kawasan pertanian atau padang penggembalaanatas nama pembangunan atau investasi.
  10. Pemerintah menyiapkan lahan konservasi produksi alam untuk menjawab kebutuhan rumah adat seperti alang dan kayu.

 

Penulis adalah Budayawan Tinggal di Sumba