Kaum Lemah Digital Asli vs Jadi-Jadian

oleh -
Dr.Fidel I. Diponegoro. (Foto: Ist)

Dr.Fidel I. Diponegoro*)

JENDELANASIONAL.ID — Berdamai dengan Covid-19 adalah pilihan sikap bangsa ini agar tangguh mensiasati pandemi. Dalam konteks pandemi, new normal didefinisikan sebagai perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Protokol tersebut terutama meliputi penggunaan masker jika keluar rumah, rajin mencuci tangan dengan sabun, tidak menyentuh wajah dengan tangan tak steril dan distancing menghindari kerumunan. Ini merupakan strategi hidup berdampingan dengan virus sambil menunggu vaksin pencegahnya.

New normal dapat dipandang sebagai praktik gaya hidup dari kacamata analisis sosial. Bourdieu (1984) mengatakan bahwa praktik = (habitus x modal) + arena. Apa yang terwujud dalam gaya hidup adalah hasil operasi habitus pada arena dengan modal-modal tertentu. Cara pandang, sikap atau habitus baru perlu diinternalisasi pada diri setiap anggota masyarakat untuk dapat mempraktikkan new normal dengan baik. Sikap hidup sehat, waspada, antisipatif dan disiplin perlu menjadi pembelajaran bersama untuk hidup di arena yang terdominasi oleh protokol-protokol kesehatan.

Indonesia beruntung memiliki modal sosial kuat berupa solidaritas dan gotong royong. Modal sosial itu sedang dan akan menjadi senjata andalan membentuk struktur masyarakat baru dengan semangat mencegah infeksi virus. Solidaritas bisa mewujud dalam bentuk saling membantu, sosialisasi, mengingatkan dan menguatkan. Salah satu wujud paling garang ketika berhadapan dengan warga nirsolider adalah sanksi sosial kepada mereka. Stempel “ngeyel” tanpa ampun disematkan.

Selain solidaritas, memupuk modal sosial trust menjadi pekerjaan rumah bersama. Saling percaya di antara masyarakat dan antara masyarakat – pemerintah niscaya dibutuhkan dalam memuluskan proyek bersama new normal. Para tokoh agama dan tokoh panutan masyarakat tentu diharapkan berkontribusi kuat membangun trust itu. Sebab merekalah para pemilik utama modal simbolik yang bisa menggerakkan hati masyarakat untuk percaya dan akhirnya disiplin mematuhi protokol kesehatan bersama.

 

Kesenjangan Digital

Protokol sehat tidak bisa diterapkan dengan kaca mata kuda dengan memperhatikan aspek kesehatan semata. Efek turunannya melebar ke berbagai aspek kehidupan. Pada arena new normal protokol ini memiliki saudara kembar bernama dunia online dengan segala seluk-beluknya. Teknologi informasi menjembatani keterbatasan interaksi. Maka masyarakat dituntut untuk memiliki habitus adaptif terhadap dunia digital teknologi informasi.

Strategi kepemilikan modal apa paling sesuai agar sikap adaptif bisa dioperasikan dengan tepat pada arena tersebut? Setidaknya ada dua jawaban yaitu modal sosial berupa penguasaan media sosial dan modal budaya berupa kecerdasan berupa digital. Individu dengan penguasaan modal-modal itu relatif lebih mampu beradaptasi mempraktikkan gaya hidup new normal.

Analisis ini mengungkap ke permukaan bahwa banyak bagian dari masyarakat perlu mendapatkan perhatian dalam praktik new normal. Fakta di lapangan, kesenjangan digital masih terlihat jelas. Belum ada kesetaraan akses terhadap teknologi informasi. Kesenjangan ini ada baik karena mental, keterbatasan material, skill ataupun akses ke dunia online. Warga lanjut usia cenderung memiliki kendala mental sulit beradaptasi mengikuti lompatan teknologi. Sebagian masyarakat belum mampu membeli laptop, gawai atau berlangganan paket data. Sebagian lagi karena keterbatasan pendidikan dan dukungan lingkungan, tidak cukup memiliki skill mengikuti perkembangan itu. Kesenjangan makin kentara dengan terbatasnya akses internet di sebagian wilayah Indonesia.

Indonesia memang sudah memiliki proyek Palapa Ring untuk mereduksi kesenjangan akses terhadap internet. Namun tentu tidak serta merta semua elemen masyarakat memiliki akses ke dunia online. Kerja keras bersama masih sangat dibutuhkan. Hak atas internet sudah hampir menjadi semacam hak asasi setiap warga negara. Mereka yang gagap teknologi, yang tidak memiliki daya beli cukup kuat untuk mengakses dunia digital, yang sangat terbatas aksesnya ke dunia digital, semua adalah kaum lemah baru dalam praktik new normal. Mereka kaum tertinggal secara digital. Bagaimana jika misalnya siswa SD di daerah terpencil dengan orang tua berusia lanjut dan berpenghasilan pas-pasan hendak belajar online dari rumah? Pemerintah dan semua pihak terkait perlu memperhatikan dan menunjukkan keberpihakan pada kaum lemah digital ini. Jika tidak, mereka akan semakin jauh tertinggal.

Mengatasi kesenjangan digital dan keberpihakan pada kaum lemah digital merupakan tugas bersama pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dituntut untuk mampu mewujudkan akses internet sampai ke setiap rumah di pelosok tanah air. WiFi gratis di setiap ruang publik dan di setiap RT atau solusi teknologi lain merupakan tahap lanjut dari ketersedian jaringan internet yang merata. Masyarakat pun bisa bergotong-royong membantu upaya itu. Sejalan dengan itu keterjangkauan kepemilikan perangkat akses digital perlu solusi nyata.

Keterlibatan masyarakat semakin diperlukan ketika kita berbicara permasalahan upaya meningkatkan literasi digital. Bukan sekedar akses internet namun literasi digital perlu bagi semua agar siswa bisa belajar, guru mampu mengajar dengan baik, orang tua bisa mendampingi anaknya dan semua orang siap menghadapi dunia digital yang makin meraja.

 

Lemah Jadi-Jadian

Salah satu tantangan besar dalam literasi digital adalah banyaknya anggota masyarakat yang menjadi korban hoax. Anggapan bahwa hanya mereka yang berpendidikan kurang, wawasan kurang atau diistilahkan “kurang piknik” yang akan mudah tertipu berita bohong adalah termasuk berita bohong itu sendiri. Tidak sulit untuk menjumpai mereka yang berpendidikan tinggi mudah memforward hoax ke orang lain. Menurut Arendt (1972), pembohong berbicara dengan logika dan harapan yang dibohongi. Karenanya orang bisa begitu percaya pada berita bohong. Meskipun dijelaskan dengan fakta-fakta mereka sebagian tetap memilih meyakini berita itu sebab fakta tak sesuai harapannya. Jadi merebaknya berita bohong bukan semata-mata karena keterbatasan informasi atau kurangnya literasi digital. Rupanya mengakui sebagai korban tertipu berita bohong memerlukan kerendahan hati bagi orang yang  irassional namun merasa rasional seperti itu. Mereka yang demikian bolehlah dimasukkan dalam golongan kaum lemah digital jadi-jadian.

Keseharian kita – termasuk dalam dunia maya – memang masih dipengaruhi post-truth. Era Post-Truth adalah iklim sosial politik di mana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan mereka meskipun fakta menunjukkan hal berbeda (J.A. Llorente, dalam Haryatmoko 2017). Biang kerok situasi dan kondisi masyarakat tersebut adalah aktor-aktor politik egois dan penyebar paham doktrin tertentu. Carut-marut itu masih ditambah dengan mereka yang berusaha memanfaatkan media sosial untuk eksis dan berupaya melakukan class passing atau mulai lazim disebut “panjat sosial”. Dari hal remeh-temeh sampai masalah yang membahayakan hidup berbangsa dan bernegara berita bohong makin masif diproduksi.

Untuk mereduksinya selain penegakan UU ITE, upaya literasi digital dan mendorong daya kritis masyarakat, kita perlu menengok kembali kekuatan modal simbolis yang kita miliki. Sudahkah tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat terlibat aktif menghadang problem sedikit-sedikit yang makin membukit itu? Tokoh-tokoh kita perlu turun langsung meramaikan media sosial. Tokoh-tokoh mumpuni berjiwa negarawan tak perlu segan dipandu oleh tim media yang paham dunia online. Perang wacana perlu dinetralisir dengan wacana. Masyarakat kita membutuhkan referensi dari figur yang bijaksana, penuh etika dan jujur. Itu harus bisa diakses melalui media digital.

*) Penulis adalah Pengamat Media dan Kajian Budaya

Referensi :

Badan POM, 2020, Serba Covid, Cegah Covid-19, Sehat untuk Semua

Haryatmoko, 2017, Nasionalisme Tribal Menurut Hanah Arendt: Menyingkap Mekanisme Populisme Agama.

Pierre Bourdieu, P., 1984, Distinction A Social Critique of The Judgement of Taste, Havard College and Routledge & Kegan Paul Ltd.