DPD, Senator Dengan Kekuasaan Setengah Hati

oleh -
Peneliti di Sabda Palon Institute, Ferlansius Pangalila

Dalam menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, mengenai hal-hal yang sangat terbatas yakni hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kelihatannya banyak hal, tetapi masalahnya ada dalam kata-kata “Dapat mengajukan” (apakah ini masuk dalam kategori “hak inisiatif” anggota legislatif? tidak!) dan pengajuan hal-hal yang terbatas ini kepada DPR yang ada di kamar sebelah, yang nantinya akan dibahas oleh DPR dengan mengikutkan DPD untuk membahasnya (bukan dibahas dan disahkan sendiri oleh DPD) dan lagipula jika hal-hal itu masuk dalam prolegnas (atau tergantung maunya DPR).

Belum lagi dalam hal Pengawasan sebagai bagian dari Lembaga Perwakilan Rakyat, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang dibatasi juga hanya untuk hal-hal mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini, DPD untuk hal-hal terbatas tersebut diatas terkesan secara sub ordinat, hanya seperti pekerja/bawahan DPR saja, karena hasil pengawasan yang dilakukan oleh DPD disampaikan (kata lain: dilaporkan) kepada DPR, yang hasil inipun hanya sebagai bahan pertimbangan saja yang bisa ditindaklanjuti atau juga tidak (seakan persoalan daerah bukanlah hal yang penting dan urgent).

Bagaimana dengan fungsi anggaran dalam Lembaga Perwakilan? Lebih tragis lagi nasib DPD. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2) UUD NRI 1945). Dalam konteks ini, sekali lagi DPD hanya dimintai pertimbangan, bukan ikut membahas, apalagi ikut mensahkan (ikut menyetujui atau tidak menyetujui) RUU APBN tersebut, sama sekali DPD tidak punya kewenangan itu. Karena secara konstitusi ternyata soal setuju atau tidak setuju itu adalah kewenangan bersama DPR dan Presiden tanpa DPD (Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945).

Apabila kewenangan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran, serta hanya ikut-ikutan saja (tanpa bersama setuju atau tidak) membahas undang-undang yang menyangkut daerah dan hanya memberi masukan sebagaimana yang terurai dalam UUD NRI 1945, lantas perlu adakah lembaga DPD ini? Untuk menemukan jawabanya hanya dengan satu jalan yakni amandemen kembali UUD NRI 1945, yang di dalamnya nanti apakah Pasal mengenai DPD dihapus saja (menghilangkan DPD), ataukah tetap mempertahankannya dengan catatan harus dilakukan perubahan untuk penguatan kewenangan DPD sebagaimana mestinya dalam sistem bikameral.