Gonjang-Ganjing Seputar Jokowi, Tanda Apakah Ini?

oleh -
Jokowi Presiden 2019
Salah satu penampilan Jokowi (Foto: Agus Suparto)

Oleh: Steve Elu

Sepekan terakhir, nama Jokowi jadi topik pembicaraan utama di tengah masyarakat Indonesia, pun di linimasa media sosial. Itu gara-gara putrinya, Kahiyang Ayu, melangsungkan pernikahan. Puncaknya dua hari lalu, tatkala acara pernikahan itu resmi digelar.

Ada macam-macam kacamata yang dipakai warga untuk melihat acara kawinan tersebut. Sebagian ikut bahagia, sebagian lagi malah nyinyir. Mereka yang ikut berbahagia tentulah keluarga besar Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, para pendukung (politik) Jokowi, dan mereka yang merasa sama-sama ‘anak desa’ seperti julukan yang dilekatkan ke Jokowi selama ini. Sementara mereka yang nyinyir sudah dipastikan adalah para lawan politik atau sebagian warga yang sampai sekarang tidak puas dengan kinierjanya.

Pemberitaan seputar persiapan pernikahan hingga akhir pernikahan anak Jokowi ini begitu ramai, sampai-sampai kita lupa membicarakan atau sekedar inging tahu siapa itu Bobby Nasution atau keluarganya, yang jadi suami Kahiyang Ayu. Tapi baiklah, itu pembicaraan dunia selebriti dan saya tidak akan masuk ke sana.

Sebelum melanjutkan, sebagai orang Indonesia yang baik, sayang ingin mengucapkan selamat berbahagia kepada Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution atas pilihan untuk menjadi suami-istri, semoga langgeng sampai akhir hayat.

Seperti yang sudah saya utarakan tadi bahwa pemberitaan dan obrolan dari mulut ke mulut seputar pernikahan anak Jokowi sangat kuat sepekan terakhir. Pemberitaan itu kian mentereng ketika beberapa politisi terkemuka di negeri ini pun melontarkan pernyataan nyinyir terhadap momen tersebut.

Lantas, apa gunanya gonjang-ganjing seputar Jokowi ini? Mari kita sedikit melangkah ke belakang. Tahun 2012, ketika DKI Jakarta mencari dan menyiapkan calon untuk Gubernur baru, kita tak pernah membayangkan bahwa akan datang seorang bernama Joko Widodo, yang di kemudian hari makin tenar dengan nama panggilan Jokowi, untuk menduduki kursi nomor satu di DKI Jakarta.

Kita, terutama saya, hanya mengenal Jokowi sebagai Walikota Solo, Jawa Tengah, seorang pengusaha mebel dan seorang prakarsa pembuatan mobil esemka yang kini hilang dari peredaran. Itu pun hanya potongan-potongan informasi sekali lewat. Tapi tiba-tiba nama Jokowi melejit lantaran hampir semua media mainstream ramai-ramai memberitakannya.

Media-media tersebut mengulas segala lini kehidupan Jokowi, termasuk keluarganya, mulai dari bangun tidur hingga tidur malam.

Selanjutnya, tahun 2014, ketika Indonesia butuh presiden baru setelah 10 tahun terombang-ambing, sebagian besar mata warga RI tertuju ke Jokowi. Media pun ramai-ramai mengarahkan lensan dan pena untuk memberitakan sepak terjang Jokowi ketika memimpin Sola dan Jakarta. Puja dan puji dialamatkan kepadanya, sekaligus ditahbiskan sebagai presiden harapan rakyat.

Tapi itu bukan berarti tak ada suara nyinyir atau caci cela yang dialamatkan kepada Jokowi dan keluarganya selama dua momentum itu. Suara-suara miring saban waktu muncul dengan niat mengguncang popularitas dan elektabilitasnya. Tapi malah suara perlawanan inilah yang membuat posisi Jokowi makin kuat di mata para pendukungnya, atau minimal mereka yang bersimpati padanya.

Merujuk pada dua kali momentum tadi, rasanya sudah cukup alasan bagi sebagian besar pengamat politik tanah air untuk mengatakan bahwa Jokowi dibesarkan oleh media massa. Media yang menggiring Jokowi dari Solo sampai Jakarta, dan akhirnya ke pucuk tertinggi pemerintahan Indonesia, Presiden.

Sekarang, gonjang-ganjing seputar Jokowi kembali mencuat. Media kembali sibuk memberitakan pernikahan anaknya. Bahkan, jumlah berita yang murni mengangkat pernikahan Kahiyang-Bobby lebih sedikit dibanding berita seputar Jokowi.

Kita bisa melihat bahwa nama Jokowi terus diperbincangkan di media dan di tengah masyarakat. Berita-berita seputar pernikahan dan kehidupan ‘rumah tangga’ Jokowi terus bermunculan dengan banyak wajah, baik memanfaatkan media sosial atau sekedar obrolan pangkalan.

Nah, kita perlu bertanya, jangan-jangan giringan opini publik seperti tiga sampai lima tahun silam sedang dibangun. Mengingat kita sudah semakin dekat dengan tahun politik, tahun dimana masyarakat akan memilih lagi. Tanda apakah ini?

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Jakarta.