ISKA Center: Mengapa Awam harus Merasul?

oleh -
ISKA Cente

“Orang Katolik harus terlibat. Spiritualitas tanpa “daging” itu klenik. “Daging” tanpa roh itu robot. Kata kuncinya adalah keterlibatan.”

Berikut ini adalah rangkuman dari diskusi politik di ISKA Center dengan narasumber Yustinus Prastowo.

Pendasaran Teoretik: Konsili Vatikan II

Mengapa KV II? Secara historis, saat itu, Gereja berhadapan dengan berbagai pengalaman dan konteks jaman yang penuh tegangan: Pasca trauma reformasi Protestantisme, di era modern – ateisme dan sekularisme menguat.

Maka, Gereja berjarak dengan modernisme dan turunannya. Secara politik, ada tegangan lain seperti: perang Jerman-Perancis, fasisme Mussolini di Italia, Hitler dengan Nazi nya di Jerman, isu holocaust serta menguatnya komunisme di Eropa Timur dan sebagian Eropa Barat. Konteks dunia semacam ini membuat para Paus ekstra hati-hati dalam bersikap.

Gereja dihadapkan pada dilema eksistensial: memilih tetap murni dari “dunia” atau terlibat dengan konsekuensi terhanyut? Gereja menyegarkan seruannya dengan model ressourcement yakni mencari insight yang relevan dari Bapa Gereja Patristik (sebelum pecah dengan orthodoks) untuk aggiornamento – Pembaharuan dalam dan melalui Gereja Katolik. Corak KV II bersifat ekumenis dan pastoral.

Gereja adalah Populus Dei (umat Allah) yang melibati dunia. Konsili menegaskan pentingnya kaum awam menguduskan diri melalui karya sekular. Inilah harta kekayaan yang “memampukan Gereja menghadapi masa depan tanpa ketakutan”. (Paus Yohanes XXIII)

Dunia adalah tegangan: Teologi Inkarnasi

Dunia bukan hanya harmoni, melainkan tegangan. Di sinilah, spiritualitas Inkarnatoris menjadi titik berangkat. Kalau Allah ingin terus menerus menyelamatkan dunia dan gagal. Paradoksnya, Bapa harus mengirim AnakNya (misteri penjelmaan) untuk menjadi manusia demi dia bisa dikenal, mengubah dan menyelamatkan.

Maka, Keterlibatan katolik menjadi mutlak, kita ikut merasakan, hidup bersama supaya bisa mengenal, dikenal dan (pada akhirnya) mengubah.

Dewasa ini ada kecenderungan gejala Pietisme yang melarikan diri dari keterlibatan. Orang asyik dengan meditasi, adorasi yang bersifat privat tanpa relasi dengan keterlibatan. Kesalehan doa tentu bagian dari spiritualitas, tetapi pasti bukan keseluruhan spiritualitas Kristiani yang berciri “menjelma”.

Selain afeksi dan intelektualitas, dimensi keterlibatan harus dikuatkan: gerakan sosial politik, sikap patriotik, kegelisahan untuk melihat persoalan bangsa. Gereja harus memulai ini, gerak dan penubuhan. Yang terpenting tahu apa yang hendak diperjuangkan serta semangat yang mendasarinya.

Refleksi Kontemporer: Latihan Merasul

Kalau dulu ada dua paham, liberalisme atau sosialisme. Sekarang ada radikalisme yang bisa berkawan dengan ekonomi pasar (kapitalisme) atau diktator. Ini berbahaya. Belum lagi kutub populisme baru seperti Cina misalnya yang cenderung pada pragmatisme.

Meski tampak berbeda ideologi, Cina tetap bisa menjalin kerja sama dengan Turki, Pakistan dan Iran. Di tengah cuaca global semacam ini, setidaknya ada dua hal yang bisa jadi catatan: keunggulan (excellency) dan keberpihakan. Gereja harus unggul agar dapat melihat kebenaran.

Fasisme lahir dengan merawat kebodohan. Kebenaran dibuat sedemikian kabur dengan hoax yang sengaja dibuat. Salah satu penangkalnya adalah dengan menghidupkan lagi budaya literasi agar kita tak hanyut dalam banjir informasi palsu dan tak dimangsa oleh kebenaran maya dunia teknologi.

Ajaran sosial gereja adalah opsi keberpihakan. Kalau Sabda menjadi “daging”, dimana dagingnya? Gereja memilih pada orang miskin. Menjadi orang katolik tak mungkin netral. Ini bukan hanya soal mendukung siapa, tetapi soal komitmen.

Gereja berkomitmen untuk memperjuangkan kebenaran, ketulusan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Kata “berpikir” dalam Bahasa Jawa halus biasa disebut “nggalih”. Berasal dari kata “galih”. Seperti halnya dalam kayu, galih adalah inti kayu yang terdalam.

Maka, dalam tradisi Jawa, berpikir berarti menggunakan budi, bukan sekedar rasio. Awam adalah rasul menurut KV II dan latihan merasul dalam jaman kontemporer berarti juga melatih diri untuk berani terlibat, peka, unggul, namun sekaligus juga berbudi luhur dan tulus mencintai.