Hukum Bukan Sekedar UU

oleh -
Edi Danggur, SH, MM, MH

Oleh: Edi Danggur, SH, MM, MH

Ada anggapan yang salah di tengah masyarakat. Kalau ada sengketa, lari saja ke Undang-Undang (UU). Cari pasalnya, mana pasal yang pas, untuk selesaikan sengketa itu. Begitu ditemukan pasal yang diperkirakan sebagai jawaban maka ia dipegang erat-erat. Pasal itu pun seolah-olah dianggap sebagai sumber kebenaran satu-satunya. Tidak ada lagi kebenaran di luar itu.

Akibatnya, setiap kali ada lawan yang hendak menguji, apakah pasal itu aplikatif, diskusi dan perdebatan jadi macet. Sebab, yang ada hanya kata ‘pokoknya’: harus akui kebenaran pasal ini. Tidak mengakui kebenaran isi pasal itu dianggap sebagai orang yang melanggar hukum.

Bagaimana sebenarnya hukum itu dipahami? Ada dua hal yang perlu dipahami: Pertama, apa saja yang menjadi sumber hukum; Kedua, hukum itu bukanlah sekedar kumpulan undang-undang yang seolah-olah saling terpisah satu sama lain.

Sumber Hukum

Hukum tidak identik dengan UU. Tetapi UU itu hanya salah satu sumber hukum, tempat hakim menemukan hukum. Sumber hukum lainnya adalah yurisprudensi, kebiasaan, doktrin atau pandangan para ahli hukum, dan bahkan perjanjian internasional.

UU itu pun jumlahnya banyak. Ada UU bidang keagrariaan, UU bidang kehutanan, UU bidang keuangan negara, UU Perbendaharaan Negara dan lain-lain. Dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan sengketa, seorang hakim atau siapapun yang terlibat sebagai mediator dalam sebuah sengketa, seyogyanya bisa menemukan roh atau spirit yang sama dalam UU-UU itu untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi.

Adat kebiasaan biasanya menjadi salah satu sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa-sengketa keperdataan.

Keanekaragaman adat kebiasaan itu berbeda-beda untuk daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bahkan berbeda pula antara hakim yang satu dengan hakim lainnya.

Keanekaragaman adat kebiasaan menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Maka penerapan adat kebiasaan itu hanya boleh diterapkan pada suatu kelompok masyarakat dimana adat kebiasaan tersebut berlaku.

UU menegaskan berlakunya adat kebiasaan dalam rumusan seperti ini: hakim wajib memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu sengketa dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dan dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum dimaksud tidak lain adalah adat kebiasaan.

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum dimaksudkan adalah perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Negara tertentu dalam bidang keperdataan dan perdagangan. Misalnya perjanjian internasional antara Indonesia dan Thailand yang menyepakati kerjasama dalam menyampaikan bukti-bukti dalam perkara perdata dan dagang.

Doktrin atau ilmu pengetahuan bukanlah hukum, tetapi sumber tempat hakim menemukan hukum atau menggali hukum. Ilmu pengetahuan itu mempunyai kewibawaan karena dukungan para pengikutnya dan karena sifatnya yang objektif.

Sumber hukum begitu banyak sedangkan manusia mempunyai keterbatasan untuk mengetahui apalagi menghafal semua hukum yang ada. Tetapi, keterbatasan pengetahuan itu tidak bisa dijadikan alasan pemaaf. Ia tetap dihukum kalau melanggar larangan yang ada dalam UU yurisprudensi, adat kebiasaan dan doktrin hukum, sekalipun dia tidak tahu larangan-larangan tersebut.

Oleh karena itu berkembang sebuah adagium universal: nemo ius ignorare consetur – setiap orang dianggap tahu akan hukum atau undang-undang. Ini tentu saja merupakan fiksi hukum. Sebab, dalam kenyataannya tidak akan pernah ada orang yang bisa menghafal semua UU yang telah diundang-undangkan, apalagi menghafal pasal-pasal.

Namun demikian, agar setiap orang tidak menjadikan ketidaktahuannya sebagai alasan pemaaf untuk menghindar hukuman, maka ada adagium yang juga berlaku secara universal: ignorantia legis excusat neminem – ketidaktahuan akan hukum atau UU tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf.

Seorang kepala daerah yang menerbitkan dan mengijinkan beroperasinya tambang di dalam kawasan hutan, tidak dapat mengatakan: mohon dimaafkan (tidak dihukum) karena saya tidak tahu ada larang menambang dalam kawasan hutan tanpa ijin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Hukum Sebagai Sistem

Ada anggapan pula anggapan bahwa UU yang begitu banyak, pasti saling tumpang tindih atau saling bertentangan satu sama lain, sehingga terjadi chaos atau mass of rules. Anggapan itu sama sesatnya dengan anggapan pertama di atas. Sebab belajar ilmu hukum itu bukan sekedar menghafal pasal-pasal. Seolah-olah kalau ada banyak pasal yang dihafal, orang merasa sudah memahami hukum.

Hukum hanya bisa dipahami sebagai suatu system atau structured whole , bukan sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri-sendiri. Maka arti pentingnya hukum justru terletak dalam hubungannya yang begitu sistematis antara peraturan hukum yang satu dan peraturan hukum yang lainnya.

Sebagai satu system, hukum itu merupakan suatu tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Tiap-tiap unsur itu saling berinteraksi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

Tidak ada konflik dan memang tidak diharapkan ada konflik, pertentangan atau kontradiksi antar bagian-bagian atau antar unsur-unsur tersebut. Kalau terjadi konflik maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam system itu sendiri. Sistem itu sendiri tidak menghendaki konflik yang berlarut-larut.

Sistem hukum merupakan system terbuka, karena system hukum merupakan kesatuan unsur-unsur yang dipengaruhi oleh factor-faktor di luar hukum: kebudayaan, social, ekonomi, budaya, sejarah dan sebagainya. Sebaliknya, system hukum itu sendiri mempengaruhi factor-faktor di luar system hukum tersebut. Itu yang membuat peraturan-peraturan hukum tersebut terbuka luas untuk ditafsir atau diinterprestasi.

Seperti dikatakan di atas, senyatanya tidak ada konflik antara peraturan-peraturan dalam hukum sebagai suatu system itu. Tetapi karena setiap manusia mempunyai kepentingan berbeda satu sama lain, maka masing-masing berpegang teguh pada peraturan yang dianggap menguntungkan dirinya. Tidak mau tahu lagi peraturan lainnya. Sebab semua peraturan lainnya dianggap salah.

Bagaimana mengatasi anggapan adanya konflik antar pasal atau antar UU yang satu dengan UU lainnya? Sistem hukum itu sifatnya lengkap. Artinya, kalau ada pasal atau UU yang tidak lengkap maka ketidaklengkapan atau kekurangan dalam system itu akan dilengkapi oleh system itu sendiri. Caranya, dengan adanya penafsiran-penafsiran maupun pemberlakuan asas-asas hukum atau adagium-adagium hukum yang universal.

Kalau ada pasal dari dua peraturan perundang-undangan yang dianggap saling bertentangan satu sama lain, maka perlu dilihat apakah kedua UU itu mengatur hal yang sama. Kalau ternyata UU yang satu mengatur tentang pembentukan daerah otonom sedangkan UU lainnya tentang Perbendaharaan Negara, maka tidak ada konflik di sini. Tidak perlu repot-repot mencari asas hukum untuk mengatasi konflik ini.

Tetapi kalau dua UU mengatur hal yang sama dan UU itu berasal dari rumpun yang sama, misalnya sama-sama mengatur tentang Keuangan Negara, maka terbuka penafsiran dan penggunaan asas hukum dalam mengatasi konflik ini. Pedomannya adalah sebagai berikut:

Pertama, kalau dua UU mengalami konflik maka harus dilihat adakah di antara kedua UU itu yang satunya merupakan hukum umum dan satunya lagi hukum khusus. Jika konfliknya antara hukum umum dan hukum khusus, maka asas hukum ini yang berlaku: lex specialis derogat legi generali – hukum khusus mengalahkan hukum umum.

Kedua, jika ada konflik antar dua UU, dimana yang satunya terbit lebih dulu (usia tua) dan satunya lagi terbit kemudian (usia muda), maka berlaku adagium ini: lex posteriori derogat legi priori – UU yang terbit kemudian mengalahkan ketentuan dalam UU yang terbit terdahulu atau sebelumnya.

Ketiga, jika ada konflik antar dua UU, dimana kedudukan UU yang satu lebih tinggi sedangkan UU yang satu kedudukannya lebih rendah, maka berlaku adagium ini: lex superiori derogat legi inferiori – hukum yang kedudukannya lebih tinggi mengalahkan hukum yang kedudukannya lebih rendah.

Implikasi Hukum

Dengan memahami hukum sebagai satu system, maka Hans Kelsen dalam bukunya ‘Teori Hukum Murni’ mengatakan: tidaklah mungkin untuk menangkap hakekat hukum jika seseorang hanya  mengandalkan kepada satu peraturan perundang-undangan yang tersendiri. Sebab hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang hubungan-hubungan yang membentuk tata hukum tersebut maka hakekat hukum dapat dipahami dengan sempurna (Soedjono Dirdjosisworo, 2002:15).

Begitu pula dalam pandangan Santo Thomas Aquinas, orang yang memahami hukum sekedar menghafal pasal dan memegang teguh kebenaran satu pasal itu ibarat orang yang hanya membaca satu buku saja (“ homo unius libri”), sedangkan buku-buku lainnya tidak pernah ia baca. Akibatnya ia mempunyai perspektif yang sempit dalam memecahkan suatu masalah di tengah masyarakat (Marwoto-Witdarmono, 2006:109).

Jika kita memahami sumber-sumber hukum dan hukum sebagai suatu system maka kita mampu menjelaskan dan mengklarifikasi bagaimana hukum berlaku dalam suatu keadaan tertentu. Di samping itu kita pun akan mampu memecahkan masalah dengan jalan mengemukakan fakta sesuai dengan keadaan hukum yang berlaku.

Akhirnya, dengan menemukan UU yang ditafsirkan dalam konteks berlakunya UU yang lain maka kita dapat mengambil kesimpulan yang tepat, lengkap dengan usul, saran atau rekomendasi yang tepat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah sengketa di tengah masyarakat.

Penulis adalah Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta