Sinergitas Total Revolusi Industri 4.0 Dan Kesiapan SDM Indonesia

oleh -
Prasetyo Nurhardjanto. (Foto: ist)

Oleh : Prasetyo Nurhardjanto *)

Revolusi Industri 4.0 lahir dari semangat kondisi negara-negara Eropa yang memiliki keterbatasan jumlah SDM. Pada World Economic Forum 2016, disetujui bahwa bahwa Revolusi Industri 4.0 adalah solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melalui kenaikan produksi barang maupun jasa. Revolusi Industri 4.0 dinilai secara fundamental akan dapat mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain.

Revolusi Industri 4.0 diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Klaus Schwab, seorang ekonom terkenal asal Jerman sekaligus pencetus World Economic Forum (WEF). Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, jika Revolusi Industri merupakan pemanfaatan teknologi yang dapat mengurangi tenaga manusia, maka sebagaimana diprediksi bahwa Indonesia di kawasan regional ASEAN yang akan memiliki dampak terbesar akibat pengalihan fungsi teknologi pekerjaan ini. Lagu bagaimana kita harus bersiap?

Dengan penduduk lebih dari seperempat milyar jiwa, Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam arus globalisasi dan era Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri memang akan selalu mereduksi jumlah tenaga kerja, namun bedanya kita dapat melihat grafis di atas, jeda antar revolusi industri semakin hari semakin dekat,

Pada Revolusi Industri 1.0 yang terjadi akhir abad ke-18 dengan penemuan alat tenun hingga revolusi industry berikutnya terdapat jeda 86 tahun. Lalu 99 tahun kemudian, dengan mulai ditemukannya komputer, Revolusi Industri 3.0 terjadi. Hanya berjarak 40 tahun kemudian, kita masuk dalam Revolusi Industri 4.0. Dan yang terjadi saat ini adalah industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dan teknologi cyber. Tren otomatisasi dan pertukaran data ini juga terjadi pada teknologi manufaktur. Pada era ini pula, konektivitas manusia, mesin dan data terjalin dalam internet, yang kemudian dikenal dengan nama Internet of Things (IoT).

Antisipasi Pemerintah

Pemerintah Indonesia telah menetapkan 10 Program prioritas menghadapi Revolusi Industri 4.0 ini. Kesepuluh program itu adalah (1) Memperbaiki alur aliran barang dan material. (2) Mengoptimalkan kebijakan zona-zona industri dengan menyelaraskan peta jalan di sektor-sektor industry, (3) Mengakomodasi standar keberlanjutan, seperti kemampuan industri berbasis teknologi bersih, tenaga listrik, biokimia, dan energi terbarukan, (4) Memberdayakan UMKM (5)  Membangun infrastruktur digital nasional. (6) Menarik investasi asing, (7) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan meningkatkan kualitas sekolah kejuruan, (8) Mempersiapkan percontohan pusat inovasi dan mengoptimalkan regulasi terkait. (9) Memberikan insentif untuk investasi teknologi, yaitu mendesain ulang rencana insentif adopsi teknologi serta (10) Melakukan harmonisasi antara aturan dan kebijakan untuk mendukung revolusi industri 4.0.

Diantara sepuluh program tersebut, peningkatan kualitas SDM oleh pemerintah dilihat sebagai komponen yang paling berat untuk dilakukan. Mengapa?

Mari kita melihat data yang dirilis oleh BPS di bawah ini.

Secara karakteristik penduduk bekerja, lebih dari 87 juta penduduk bekerja secara penuh waktu. Artinya, sebagian besar bekerja pada level formal. Namun jika dilihat dari pendidikan, lebih dari 53 juta dari tenaga kerja yang ada hanya berpendidikan SD. Hal itu berbanding lurus dengan rata-rata upah di Indonesia yang hanya berada di tingkat Rp 2,650 juta sebagaimana dipaparkan dalam grafis di bawah ini.

Fakta ini masih harus berhadapan dengan studi World Economic Forum yang merilis 10 skill yang mutlak dibutuhkan para pekerja sebagai dampak RevolusiIndustri 4.0. Skil tersebut di antaranya  pemecahan masalah yang komplek,  berpikir kritis, kreativitas, manajemen manusia, berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, penilaian dan pengambilan keputusan, berorientasi servis, negosiasi, dan fleksibilitas kognitif. Dengan kondisi SDM di Indonesia sebagaimana tergambar dalam dua grafis di atas, tentunya wajar jika pemerintah perlu mengantisipasi kondisi tersebut agar mampu bersaing dengan negara lain.

Dahulu banyak pihak beranggapan bahwa bonus demografi menjadi modal kita untuk bersaing. Kita melihat bahwa prasyarat yang pernah didengungkan antara lain peningkatan kualitas manusia, penyerapan tenaga kerja, meningkatkan tabungan rumah tangga maupun dengan cara semakin meningkatkan tenaga kerja perempuan. Prasyarat itu ternyata tidaklah cukup. Perlu terobosan-terobosan lain yang dapat mendorong percepatan membangun kualitas SDM Indonesia.

Sinergitas Total

Tidak ada acara lain kecuali membangun sinergitas secara all out antara pemerintah, pelaku bisnis, lembaga pendidikan dan komunitas-komunitas dalam masyarakat. Pemerintah harus mampu menyusun kebijakan terobosan untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Kebijakan untuk meningkatlan pendidikan vokasi hanya akan efektif jika didukung oleh program-program serupa ditingkat lembaga pendidikan tinggi. Kurikulum harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan dunia bisnis. Peran komunitas dalam masyarakat adalah untuk menggerakan sumber-sumber daya yang dapat dikembangkan dan kemudian mendorong pemanfaatan sumber daya manusia yang cukup banyak.

Prediksi banyaknya peluang pekerjaan yang hilang akibat revolusi industri 4.0 seharusnya dapat diantisipasi mengingat peluang-peluang bisnis di Indonesia sangatlah luas dan besar.Teknologi akan sangat membantu dan itu akan efektif jika dipersiapkan generasi muda yang menguasa teknologi melalui pendidikan-pendidikan vokasi. Sekalipun teknologi dapat mereduksi kebutuhan tenaga kerja, namun  sinergitas antar regulator, pelaku bisnis, dunia pendidkan serta komunitas yang berkembang di masyarakat . Penduduk Indonesia tidak dapat lagi bergantung pada sektor formal dengan bekerja secara penuh waktu, namun harus lebih mampu berimprovisasi dalam berproduksi. Peluang-peluang pengolahan sumber daya alam Indonesia harus menjadi faktor kekuatan (strength). Sebutlah dunia pariwisata, hasil budi daya alam berupa buah, sayur maupun rempah-rempah. Melalui pengembangan pengolahan sumber daya alam Indonesia itulah, peran komunitas dalam masyakarat akan menjadi penting. Dan sinergitas dengan stakeholder lainnya sebagaimana uraian di atas, maka seharusnya Revolusi Industri 4.0 tidak menjadi ancaman, namun justru peluang bagi Indonesia.

*) Penulis adalah HR Ops&GA Manager PT Indo Lotte Makmur (www.ilotte.com), menyelesaikan pendidikan Magister Manajemen dari Unika Atma Jaya (2002), dan PPRA Lemhannas RI (2013). Selain dunia professional, Prasetyo juga merupakan aktivis Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Pusat Bidang Pendidikan dan SDM.